Rabu, 19 November 2014



HUBUNGAN BUDAYA DENGAN PELAKSANAAN KONSELING
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Multi Budaya
Kelas BK A Semester III
Kelompok 08
Disusun oleh:
Ansyah Arifin Made                     12001039
Laili Ni’amah                                1300001034
Nurrahma Hikmanisa                  1300001035
Annisa Rizki Suryandari              1300001046
Aghniawati ahmad                       1300001061
Wahyu nugroho budiyanto          1300001069
---
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
2014


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SAW, berkat berbagai rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kami  diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan bagi sebaik-baik makhluk, sebaik-baik manusia yang diutus bagi seluruh umat, yaitu Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula bagi para sahabat, keluarga, serta orang-orang  yang mengikuti sunahnya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing serta teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas ini.
            Semoga dalam penyusunan tugas materi “Pendidikan Multi Budaya“ ini dapat meningkatkan pengetahuan dan penerapannya tentang Hubungan Budaya dengan Pelaksanaan Konseling. Khususnya bagi kami sendiri umumnya bagi semua pembaca. Kajian dalam tugas ini dibuat sederhanan  agar mempermudah dalam pemahaman, harapanya dapat menjadi jawaban atas pertanyana dalam matakuliah Pendidikan Multi Budaya dan menjadi referensi yang signifikan dalam pengembanganya kedepan.
            Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Demikian tugas ini dibuat agar dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 2 Nopember 2013

Penulis



DAFTAR ISI


BAB III PENUTUP.. 21





BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Perkembangan peradaban manusia berlangsung begitu pesat, yang dipicu oleh kemajuan  ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat memasuki era informasi atau globalisasi. Kemajuan tersebut menyebabkan terjadinya mobilitas penduduk, modal, nilai, idiologi dan sebagainya dari satu wilayah ke wilayah lain, akibatnya suatu Negara, daerah atau suatu kota bermukim penduduk yang beragam budayanya.
Globalisasi memang satu sisi dapat melahirkan budaya global, universalisasi budaya, tetapi di sisi lain juga mendorong setiap kelompok budaya, berjuang untuk meneguhkan identitas budayanya (cultural identity), sehingga keragaman budaya semakin berkembang.
Keragaman budaya ini, dalam kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah, dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya. Bahkan dapat terjadi benturan antar budaya (clash of culture).
Seorang Konselor harus mempunyai apa yang disebut dengan Knowledge atau pengetahuan, dimana pengetahuan ini sangat perlu untuk seorang konselor karena untuk membuat proses Konseling ini berjalan dengan lancar dan tidak membosankan, yang ditekankan dalam makalah ini dalah pengetahuan dan pemahaman tentang Hubungan Budaya dalam Proses Knseling.
Tidak mudah untuk melakukan Proses Konseling kaitannya dengan perbedaan Budaya antara Konselor dan Konseli, dalam makalah ini akan dibahas bagaimana Hubungan Budaya dalam Proses Konseling untuk mempermudah Konselor dalam melakakan proses Konselingnya, agar Proses Konseling itu berjalan dengan baik dan berhasil.

B.   TUJUAN

Penulisan makalah bertujuan untuk:
1.      Mengetahui konsep konseling lintas budaya. 
2.      Mengetahui asas, prinsip, dan hambatan konseling lintas budaya. 
3.      Mengetahui dimensi- dimensi dalam konseling lintas budaya. 
4.      Mengetahui karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya.



BAB II

PEMBAHASAN

A.   KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

1.    PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Pedersen (1990), Ivey dkk. (1993) menyebut bahwa konseling lintas budaya merupakan “fourth force” atau kekuatan keempat dalam gerakan konseling, yaitu setelah gerakan psikodinamik (Freud, Young, Alder, From, dkk).
Secara singkat konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam budaya yang berbeda.
Hubungan antara kebudayaan dalam konseling adalah kebudayaan ada pada individu yang terlibat dalam konseling. Bahkan seluruh aspek dalam konseling terkait dengan budaya.
Di Amerika banyak ahli seperti Sue (1981) menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan pada kelompok-kelompok minoritas, misal kelompok kulit hitam, hispanic, indian, keturunan asia di amerika dan sebagainya.
Para ahli lain menyebutkan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang duberikan kepada mereka yang sama budayanya dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda. Misalnya homoseksual.
Definisi konseling lintas budaya yang lebih akhir menyatakan konseling lintas budaya terjadi apabila proses konseling terdapat perbedaan-perbedaan budaya antara konselor dengan klien. Perbedaan antara keduanya muncul sebagai proses hasil sosialisasi dalam kebudayaan yang berbeda ( locke, 1990).
Dapat dkemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu “ suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan melibatkan budaya subjek yang terlibat dalam konseling”.
Dari uraian definisi konseling, Ivey dkk (1993) mencatat adanya  dua kecenderungan dalam bidang konseling lintas budaya, yaitu pendekatan universal (the universal approch) dan pendekatan secara khusus (the focused cuklture spesific approch). Pendekatan universal mensyaratkan dalam proses konseling terkait dengan budaya dan harus mempertimbangkan budaya. Pendekatan khusus lebih memfokuskan pada suatu budaya kelompok tertentu, yaitu melihat individu dan sebagai anggota suatu kelompok budaya, seperti konseling pada keturunan Asia dll.
2.    LATAR BELAKANG KONSELING LINTAS BUDAYA
Globalisasi memang satu sisi dapat melahirkan budaya global, universalisasi budaya, tetapi di sisi lain juga mendorong setiap kelompok budaya, berjuang untuk meneguhkan identitas budayanya (cultural identity), sehingga keragaman budaya semakin berkembang.
Keragaman budaya ini, dalam kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah, dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya. Bahkan dapat terjadi benturan antar budaya (clash of culture).
Sumber-sumber hambatan yang menyebabkan adanya konflik antara lain nonverbal, stereotype, kecenderungan menilai, kecemasan dan sebagainya (Prayitno dan Erman Amti, 1994). Setiap kebudayaan, menurut Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem, yaitu :
1.    Sistem budaya (budaya nilai)
2.    Sistem sosial
3.    Kebudayaan fisik
Seluruh unsur budaya akan membentuk unsur-unsur subyektif pada diri individu,yang meliputi berbagai konsep dan assosiasi, sikap kepercayaan, harapan, pendapat, persepsi, stereotype dan sebagainya. Kebudayaan sangat mempengaruhi  perilaku individu,bentuk, arah dan orientasi hidup manusia, ekspresi emosi, bahkan kriteria perilaku sehat atau bermasalah diwarnai oleh kebudayaannya.
Dalam konseling ada dua komponen pokok yang terlibat, yaitu klien dan konselor. Ivey dkk (1993:127) mengemukakan model hubungan klien dengan konselor yaitu: 
Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu dipengaruhi oleh budaya dan latarbelakang sejarah klien dan konselor. Konselor dan klien berinteraksi dengan membawa seperangkat budayanya masing-masing untuk menuju suatu proses konseling.
Keseluruhan komponen bersama menuju proses konseling, termasuk merumuskan tujuan konseling budaya yang berlaku pada diri konselor, klien, lingkungan dan teori yang digunakan. Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan latar belakang perlunya konseling lintas budaya, yaitu:
  • Adanya kecenderungan budaya global dan transformasi budaya, dimana kehidupan masyarakat semakin terdiri dari berbagai budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
  • Setiap budaya akan membentuk pola kepribadian, tingkah laku secara khusus, termasuk dalam proses konseling.
  • Adanya proses akulturasi atau percampuran antar budaya.
  •  Adanya berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan, terutama pendekatan psikodinamika, behavioristic- kognitivistik , eksestensial humanistic, yang kurang mempertimbangkan aspek budaya.
  • Adanya berbagai pendekatan konseling yang bersumber dari nilai-nilai budaya asli masyarakat (indigineous value), dan berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.

B.   ASAS, PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA

1.    ASAS – ASAS KONSELING LINTAS BUDAYA
Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional, maka harus dilakasanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisiensi dan efektifitas layanan. Kaidah tersebut didasarkan keilmuan layanan, kondisi masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, dan tuntutan optimalisasi proses penyelengaraan layanan. Kaidah tersebut di sebut asas-asa layanan.
1.    Asas Kerahasiaan
Konselor harus menjamin kerahasiaan semua data yang di sampaikan klien. Asas ini merupakan asas kunci dalam layanan konseling lintas budaya.
2.    Asas Kesukarelaan
Proses konseling harus berlangsung atas dasar sukarela baik dari konselor maupun klien. Klien dengan sukarela menyampaikan masalah tanpa terpaksa yang diperlukan konselor, dan konselor memberikan bantuan dengan sukarela.
3.    Asas Keterbukaan
Dalam konseling dieprlukan suasana saling terbuka baik konselor maupun klien. Konselor harus terampil, terbuka, asli, otentik, tampil apa adanya. Klien harus mau membuka diri menyampaikan masalah secara terbuka, jujur tentang keadaan dirinya.
4.    Asas Kegiatan
Layanan konseling harus dilakukan dengan usaha dari klien maupun konselor. Konselor harus mampu membangkitkan kemauan klien sehingga mampu dan mau melaksanakan kegiatan. Konselor harus aktif membantu klien.
5.    Asa Kemandirian
Diharapkan dengan layanan konseling, klien dapat mandiri, tanpa harus selalu bergantung pihak lain. Maka klien diarahkan dan diberi kesempatan untik mampu memeutuskan dan membuat keputusan sendiri.
6.    Asas Kekinian
Konselor tidak boleh menunda-nunda bantuan, bantuan yang diberikan hendaknya sesuai dengan perkembangan jaman. Bukan kecenderungan lama atau impian masa depan.
7.    Asas Keterpaduan
Layanan konseling hendaknya menjunjung tinggi harmonis dan terpadu. Maka diperlukan kerjasama yang harmonis dari berbagai pihak yang terlibat. Isi dan proses layanan harus terpadu , tidak saling tumpang tindih.
8.    Asas Kedinamisan
Layanan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada klien. Yaitu perbubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik, maju dan terus berkembang .
9.    Asas Kenormativan
Layanan konseling didasarkan pada norma-norma yang berlaku baik norma adat istiadat, norma sosial, norma agama dsb. Asas ini diterapkan terhadap tujuan, isi, alat maupun proses konseling harus dapat dipertanggungjawabkan secara noirmatif.
10.  Asas keahlian
Layanan konseling lintas budaya harus dilakukan dengan asas keahlian sehingga layanan dilakukan secara teratur, sistematik, prosedur dan teknik yang memadai. Oleh karena itu konselor harus mempunyai pendidikan/latihan pengalaman yang memadai.
11.  Asas Alih Tangan
Dalam layanan konselinglintas budaya, pihak-pihak yang tiudak mampu menyelengarakan layanan secara tepat katena keterbatasan kewenangan dan kompetensi, supaya melakukan alih tangan (refereal) kepada pihak lain yang lebih kompeten.
2.    PRINSIP – PRINSIP KONSELING LINTAS BUDAYA
Dalam konseling lintas budaya, prinsip-prinsip yang digunakan bersumber dari kajian filosofis, teoritis, hasil penelitian dan kajian pengalaman dalam praktek  bimbingan dan konseling yang berwawasan budaya. Prinsip-prinsip konseling lintas budaya banyak yang bersifat hipotesis, berupa pemikiran, dan masih terus berkembang.
Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para praktis, peneliti, dan ahli-ahli teori tentang prinsip-prinsip konseling lintas budaya, yaitu:
  • Teknik atau aktivitas para konselor semakin berubah. Yaitu menyesuaikan atau menerapkan dalam lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini bukan berarti konseling secara otomatis mengikuti budaya klien apa adanya.
  • Permasalahan dalam proses konseling akan cenderung meningkat, jika antara klien dan konselor terdapat perbedaan kebudayaan yang semakin melebar.
  • Permasalah atau problem, pola-pola perilaku bermasalah akan berbeda-beda dalam berbagai budaya.
  • Norma,harapan, perilaku stress juga memiliki keragaman antara kebudayaan. Klien-klien dari berbagai budaya memiliki cara yang berbeda dalam penyesuaian diri.
  • Konsep-konsep konseling dan pola-pola membantu berkaitan dengan suatu kebudayaan.
Prayitno dan Erman Amti (1994:176) mencatat beberapa hipotesis yang berkaitan dengan konseling antar budaya, yang dikemukakan oleh Pedersen dkk, yaitu:
  • Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antar budaya yang ada pada konselor dan klien,maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
  • Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan,komunikasi terbuka, dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
  • Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkahlaku, maka afektiflah konseling dengan klien tersebut.
  • Semakin bersifat personal dan penuh suasana emosional dalam konseling antar budaya maka mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.
  • Keefektifan konseling antar budaya tergantung pada sensitifitas konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya, dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
  • Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup sehari-hari dengan budaya tertentu akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tertentu.
  • Semakin klien kurang memahami proses konseling,semakin perlu konselor atau program konseling antar budaya memberikan pengarahan/latihan kepada klien tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (menggunakan keterampilan dalam situasi yang berbeda).
  • Keefektifan konseling antar budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman klien dan konselor tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
  • Konseling antar budaya akan meningkat keefektifannya dengan adanya pengetahuan yang dimanfaatkannya kelompok-kelompok antar budaya yang berpandangan amat menentukan terhadap klien.
  • Keefektifan konseling antar budaya akan bertambah dengan meningkatnya kesadaran konselor tentang proses adaptasi, dan dengan pemahaman tentang berbagai keterampilan yang diperlukan bagi klien untuk memasuki budaya yang baru.
  • Meskipun konseling antar budaya memerlukan pertimbangan tentang kehidupan sekarang dan kemungkinan tugas/ kegiatan yang akan datang, focus yang paling utama adalah hal-hal yang amat dipentingkan klien.
  • Meskipun terdapat perbedaan besar tentang berbagai aspek budaya yang berlainan, bahasa dan teori-teori konseling, elemen pokok konseling antar budaya tidak jauh beda dengan konseling pada umumnya.
  • Model konseling yang khusus dirancang untuk pola kebudayaan tertentu akan efektif terhadap klien yang berasal dari kebudayaan tersebut  dari pada budaya lain.
  • Konseling antar budaya akan efektif apabila konselor memperhatikan klien sebagai individu yang special atau khusus.
3.    PERMASALAHAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Prayitno dan Erman amti (1994) mengutip pendapat perdesen dkk, yang mengetengahkan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul didalam kominikasi dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu berkenaan dengan perbedaan bahasa, komunikasi non verbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan kecemasan.
Sue (1981: 4) mencatat tiga hal yang menjadi sumber hambatan atau kegagalan layanan konseling lintas budaya, yaitu : (1). Program pendidikan dan latihan konselor, (2). Literatur konseling dan kesehatan mental , (3). Proses dan praktik konseling.
1.    Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan/ latihan konselor (kurikulum, proses pembelajaran dll) mengacu pada budaya klas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran, keterampilan, dan pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda dengan budaya barat ( Eropa- Amerika).
2.    Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultural encapsulation, mereka memiliki pandangan monokultural tentang kesehatan mental dan pandangan sterotip yang negatif terhadap budaya lain.
3.    Praktek konseling professional selama ini dilakukan menggunakan praktek ilmiah, yang mengacu budaya empiristik, individualistic, kebebasan, dan sebagainya.
Sue (1981: 28) juga mencatat tiga hambatan dalam konseling lintas budaya, yaitu: (1). Hambatan bahasa, yaitu dimana bahasa sering terdapat perbedaan bahasa (verbal dan non verbal ) antara bahasa konselor dengan klien, (2). Hambatan pendekatan kelas, dimana status antara konselor dengan klien, misalnya konselor berasal dari kelas menengah kulit putih sementara klien berasal dari bawah ( minoritas keturunan afrika, keturunan Asia dll),(3) hambatan perbedaan klien antara konselor dengan klien.
Handani (1997) mengutip pendapat Fukuyama (1990) yang mengetengahkan beberapa isu yang sering muncul dalam konseling lintas budaya, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dikotomic etnic-etnic , hubungan atau teknik, hubungan bilateral antara konselor dan klien serta dilemma autoplastic dan alloplastic.
1.    Isu etnic dan emic
Berkaitan dengan isu etnic dan emic, para peneliti counseling lintas budaya sering menggunakan isilah etnic (culturally generalized) dan emic (culturally specific) untuk menjelaskan strategi-strategi yang berbeda dalam peneliiannya pendekatan etnic melibatkan peneliti yang berasal dari budaya tertentu.
Dikotomi etnic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan suatu kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar klien. Sudah barang tentu pandangan yang seimbang antara emic dan etic perlu dilakukan dalam konseling lintas budaya, sebab ada kalanya konseling lintas budaya berusaha mengembangkan budaya klien yng mungkin tidak sejalan dengan arus utama budaya yang berlaku.
2.    Isu hubungan konselor- klien versus teknik-teknik konseling
Problem kedua berkaitan dengan hubungan konselor klien versus teknik-teknik koseling. Isu ini sebenarnya mengacu pada persoalan-persoalan apakah proses konseling perlu dilakukan dalam kerangka budaya konselor atau budaya klien, apa esensi konseling sebenarnya?
Konselor perlu penyiapan diri untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan latar budaya klien. Dengan demikian konseling lintas budaya lebih merupakan pengadaptasian teknik-teknik yang dipakai konselor sesuai dengan latar budaya klien.
3.    Isu hubungan bilateral antara konselor-klien
Hubungan bilateral yang dimaksud adalah hubungan konselor dengan klien yang mengacu pada tingkat proses belajar dalam konseling yang mampu mempengaruhi konselor maupun klien. Apabila kesenjangan budaya dalam konseling dapat menjembatani, maka pengalaman subjektif yang terkomunikasi dalam proses konseling dapat menjadi ‘jendela’ yang dapat digunakan oleh konselor maupun klien untuk saling ‘melirik’ kebudayaan yang dianut masing-masing pihak.
4.    Isu dilema autoplastic- alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana mengakomodasi seseorang pada latar dan struktur social yang bersifat given (jadi). Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan individu. Konsep- konsep ini berkaitan dengan tujuan proses konseling, karena konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa konselor dapat membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor dapat mendorong terbentuknya realitas yang sama dengan realitas yang ada pada diri konselor.

C.   DIMENSI – DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

1.    SISTEM KEBUDAYAAN DALAM BIMBINGAN KONSELING
Kebudayaan sebagai hasil budidaya manusia, mencakup seluruh segi dan bidang kehidupan, baik yang sifatnya abstrak maupun yang konkrit. Kuntjaraningrat (1990, dalam Jumarin) menjelaskan dilihat dari wujudnya kebudayaan terdiri dari tiga sistem yaitu :
1)    Sistem budaya atau nilai budaya
Berisi kompleks ide-ide, gagasan, konsep, dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan. Nilai budaya ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, kenyataan dan sebagainya.
2)    Sistem sosial
Yaitu tindakan berpola (habit of doing) yang terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang kemudian menetap dalam bentuk adat tata perilaku.
3)    Kebudayaan fisik
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik, konkrit, dapat berbentuk benda-benda yang diraba.
Ketiga sistem budaya tersebut saling terkait, dimana sistem nilai menjiwai, mewarnai dan mendasari sistem sosial dan kiebudayaan fisik. Seluruh sistem sosial dan kebudayaan fisik diwarnai oleh sistem nilai.
2.    DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING
Terdapat tiga variabel utama yang terlibat dalam proses konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor yaitu :
1)    Variabel konselor
Konselor yang akan memberikan pelayanan sudah membawa seperangkat karakteristik, baik yang sifatnya personal, sosiostruktural maupun profesional.
2)    Variabel klien
Klien juga membawa seperangkat karakteristik, baik personal-sosio-kultural dan pengalam hidup. Yang meliputi ; aspek biologis, budaya, gaya kognitif, bakat, minat, kecakapan dan perilaku.
3)    Variabel proses konseling
Semua aspek baik konselor, klien dan proses terlibat dalam konseling. Dalam konseling, pendekatan dimensi kultural selalu terlibat dan mewarnai seluruh usaha konseling, baik sebelum proses konseling dimulai (budaya yang melekat pada konselor dan klien).

D.   KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

Sebagian besar kesalahpahaman antara dominan Amerika kelompok budaya dan orang-orang dari budaya lain tersebut diberikan untuk anggota kelompok dominan yang percaya bahwa setiap orang adalah seperti mereka atau setidaknya harus menjadi seperti mereka. Banyak di kelompok ini mengasumsikan bahwa "semua orang berbagi pandangan kita tentang dunia." Orang-orang yang cenderung menganggap kesamaan juga cenderung kurang berkeinginan untuk memahami orang-orang yang secara sosial atau budaya yang berbeda dari mereka. Sadar atau tidak sadar, orang-orang yang salah dengan asumsi kesamaan biasanya tidak ingin mengubah. Berubah, ketika itu terjadi, terjadi sebagai akibat dari perendaman jangka panjang dalam budaya atau kelompok yang berbeda dari seseorang kontak jangka panjang sendiri, atau dengan orang atau orang yang berbeda dari diri seseorang.
1.    KESADARAN KONSELOR
Kebutuhan konselor untuk menyadari budaya mereka sendiri dan budaya suatu kelompok penduduk, agar lebih efektif dalam melayani kelompok masyarakat dan beragam budaya. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran para konselor di Amerika Serikat, terlepas dari budaya. Beberapa alasan terkait dengan keprihatinan ini adalah: meningkatnya mobilitas, pertumbuhan kelompok minoritas ras dan etnis, pengakuan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok, penuaan orang berkulit Putih penduduk Amerika, dan tingkat kelahiran orang berkulit putih Amerika yang menurun.
Yang pertama adalah mobilitas yang semakin meningkat dari masyarakat dunia. Munculnya telepon, televisi, pesawat terbang, radio, komputer, mesin fax, e-mail, dan lainnya bahkan teknologi yang lebih baru telah memberikan kemudahan untuk mengakses bahkan daerah terpencil yang ada di penjuru bumi. Negara dan masyarakat tidak lagi terisolasi. Kemajuan dunia dalam teknologi menyebabkan keterkaitan dan saling ketergantungan, sehingga menuntut kesadaran budaya yang lebih besar.  Kemajuan dalam teknologi komunikasi digabungkan dengan peningkatan perjalanan di seluruh dunia pasti telah memberikan kontribusi untuk arti globalisasi.
Alasan lain bagi konselor untuk menyadari budaya mereka sendiri dan kelompok penduduk terkait dengan tingkat pertumbuhan kelompok minoritas dan pengakuan seiring keragaman dalam Amerika Serikat. Sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa ras kulit putih Amerika proporsi dari total populasi di Amerika Serikat turun dari 80.3% pada 1990 menjadi 75,1% pada tahun 2000 (US Biro Sensus, 2000). Konselor memiliki tanggung jawab untuk menyadari akan nilai-nilai, bias, stereotip, dan asumsi tentang perilaku manusia serta penduduk kelompok di Amerika Serikat. Tanpa kesadaran dan pemahaman sebagai konselor, kita mungkin secara tidak sengaja akan memberikan pelayanan yang sama, padahal budaya setiap kelompok tentu berbeda – beda.
Pentingnya untuk menyadari, mau untuk mengubah, atau tidak menantang asumsi-asumsi kita sendiri mempromosikan pandangan etnosentris. Konselor yang tidak menyadari warisan budaya dan etnis mereka sendiri, beresiko memaksakan nilai pada klien melalui asumsi kelompok belajar atau perilaku nonverbal. Mereka akan terbatas dalam memberikan pelayanan terhadap beragam kelompok atau budaya yang berbeda. Cukup pemahaman perspektif klien dan kurangnya keterbukaan akan perbedaan menghambat kemampuan konselor untuk memberikaan pelayanan. Klien dalam lintas budaya sering kurang memahami isu-isu tertentu dalam budaya baru (Misalnya, komunikasi, kontak mata, gerak tubuh, ekspresi, dll). Untuk melaksanakan pelayanan yang efektif, konselor harus mengetahui daerah di mana klien-klien lintas-budaya cenderung kurang informasi atau mereka mungkin belum terbiasa. Sehubungan dengan konseling yang efektif pada budaya yang berbeda atau beragam populasi, konselor juga perlu tahu kapan untuk merujuk. Konselor yang tidak menyadari budaya mereka sendiri dan perbedaan budaya berisiko tidak sengaja menyinggung klien dan / atau menjadi tersinggung oleh perilaku klien.
Pertama-tama kita harus mempertimbangkan bagaimana kita mengasimilasi karakteristik budaya tanpa menyadari bahwa kita memiliki budaya tersebut. Selain itu, penting untuk merenungkan proses menjadi sadar, pertama budaya kita sendiri atau kelompok, dan kemudian budaya atau kelompok lain.
2.    BELAJAR BUDAYA
Orang belajar budaya mereka melalui enkulturasi, sebuah proses yang mereka memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk fungsi tertentu dalam sistem sosiokultural (Spradley & Phillips, 1972). Sebuah enkulturasi yaitu orang telah memasukkan norma-norma budaya tertentu seperti ketelitian bahwa orang tersebut mencontohkan budaya yang telah ada. (Ward, 1984, p. 54). Menjadi enkulturasi tanpa kesadaran pribadi budaya dapat menyebabkan enkapsulasi budaya. Enkapsulasi adalah didefinisikan secara metaforis oleh Augsburger (1986) sebagai kecenderungan alami di antara manusia melihat dunia sebagai peregangan hanya dari horizon ke horizon atau merasa satu hanya dengan orang-orang yang telah akrab. Augsburger selanjutnya mengatakan bahwa konselor sangat rentan terhadap enkapsulasi budaya. Sensitivitas mereka terhadap pola komunikasi verbal dan kecenderungan untuk menafsirkan pola-pola sesuai dengan budaya yang sesuai dengan asumsi mereka. Pada saat yang sama, keterampilan ini dapat membantu konselor budaya sadar dalam menghadapi dan mengatasi enkapsulasi. Enkapsulasi budaya tidak timbul dari suatu keinginan yang berbahaya untuk tumbuh ke dalam dan tidak menyadari tetapi dari kesadaran terbatas seseorang terhadap budaya dan etnis sendiri, budaya dan kelompok lain, dan perbedaan yang signifikan antara budaya.
Berkenaan dengan konselor, enkapsulasi budaya dapat disebabkan oleh:
a.    Kurangnya paparan kelompok yang beragam, baik karena pilihan atau kebetulan;
b.    Pentingnya memahami perbedaan budaya antara diri mereka dan klien mereka;
c.    Mempertahankan keyakinan yang salah bahwa metode-metode tertentu dalam konseling dan terapi yang berlaku secara universal;
d.    Kurangnya kemauan untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan keyakinan mereka sendiri, khususnya yang terkait stereotip, bias, dan asumsi.
Konselor perlu memahami tentang konsep enkulturasi, hal ini sangat penting karena:
1)    Untuk memahami bahwa setiap individu memegang nilai-nilai, bias, stereotip, dan pola komunikasi yang dibentuk oleh budaya;
2)    Mengenali nilai-nilai, bias, stereotip, dan pola komunikasi dalam dirinya sendiri sementara pada saat yang sama pemahaman proses dimana kesadaran terjadi;
3)    Untuk mengenali perbedaan antara budaya satu dengan budaya lain dalam rangka untuk belajar dan memahami sifat istimewa dari budaya lain.
Dengan cara ini konselor akan dapat bergabung dengan budaya orang lain untuk tujuan konseling.
3.    KARAKTERISTIK KONSELOR SECARA UMUM
Karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya secara umum sama dengan konselor pada umumnya, yang harus memiliki kompetensi profesional dan  personal. Steward dkk (1978:72) mengemukakan kompetensi konselor yang pokok yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Muh.Surya (1987:122) mengemukakan karakteristik konselor yaitu pengalaman, tipe-tipe hubungan dalam konseling, dan factor-faktor  non intelektual.
a.    Kredibilitas Konselor
Kredibilitas mencakup arah set problem solving, consistency dan identification.
b.    Daya Tarik Konselor
Rollo May (Jumarin 2002) “Jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan memiliki niat baik terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain.
c.    Kekuasaan (power)
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan (compliance). Ktundukan tersebut timbul karena adanya interaksi antara konselor dengan klien.
4.    KARAKTERISTIK KONSELOR SECARA KHUSUS
Bagi konselor yang memberikan konseling lintas budaya, kualifikasi tersebut terkait dengan beragam budaya klien, sehingga kualifikasi konselor sangat luas dan mungkin berbeda antara klien satu dengan yang lain.
a.    Kualitas personal/ pribadi konselor
Pribadi konselor merupakan hal yang sangat essensial dan instrument yang efektif dalam konseling. Rollo May (1997:165) mengutip pendapat Adler bahwa “bagi konselor teknik perlakuan (treatment) harus berada dalam dirinya sendiri”. Munro dkk (1979) mengemukakan bahwa tidak ada pola yang tegas tentang sifat atau ciri-ciri kepribadian yang harus memiliki konselor yang efektif, tetapi sekurang-kurangnnya konselor memilki sikap yang luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, empati, mengenal dirinya sendiri, tidak pura-pura, menghargai orang lain, tidak mau menang sendiri, dan objektif.
b.    Kompetensi profesional konselor lintas budaya
Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya, harus memiliki kompetensi profesional. Konselor yang memberikan layanan konseling lintas budaya harus memiliki sejumlah kompetensi yang terkait dengan konseling lintas budaya.
c.    Ketrampilan khusus konselor
Konselor harus memiliki atau menguasai sejumlah ketrampialn khusus dalam menyelenggarakan konseling lintas budaya. Ketrampilan tersebut merupakan bentuk ketrampilan konseling yaitu kecakapan motorik yang ditunjukan dalam menyelenggarakan proses konseling, mulai menyiapkan konteks sampai menutup atau mengakhiri suatu kasus. Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki oleh konselor dalam konseling lintas budaya adalah :
1)    Ketrampilan menyiapkan tata formasi dalam proses konseling
2)    Ketrampilan memperhatikan
3)    Ketrampilan mengeksplorasi masalah
4)    Ketrampilan dalam mengembangkan inisiatif  (merumuskan tujuan, mengembangkan program)
5)    Ketrampilan dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti ketrampilan menginterpetasi, ketrampilan memilih starategi yang tepat dalam pelaksanaan proses konseling.

BAB III

PENUTUP

A.   KESIMPULAN

Hubungan antara kebudayaan dalam konseling adalah kebudayaan ada pada individu yang terlibat dalam konseling. Bahkan seluruh aspek dalam konseling terkait dengan budaya.
Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu dipengaruhi oleh budaya dan latarbelakang sejarah klien dan konselor. Konselor dan klien berinteraksi dengan membawa seperangkat budayanya masing-masing untuk menuju suatu proses konseling.
Ketiga sistem budaya tersebut saling terkait, dimana sistem nilai menjiwai, mewarnai dan mendasari sistem sosial dan kiebudayaan fisik. Seluruh sistem sosial dan kebudayaan fisik diwarnai oleh sistem nilai.
Terdapat tiga variabel utama yang terlibat dalam proses konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor yaitu :  Variabel konselor, Variabel klien, dan Variabel proses konseling.

B.   SARAN

1.    Sebagai calon konselor, kita harus mengetahui hal – hal yang mendukung terlaksananya bimbingan dan konseling terutama dalam layanan BK lintas budaya.
2.    Perlu pemahaman yang serius dari konselor tentang menghadapi kliaen yang berbeda budaya, dalam layanan konseling. Atau dapat dipahami tentang layanan konseling lintas budaya.


DAFTAR PUSTAKA

Jumarin, M. 2002. Konseling Lintas-Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vacc, Nicholas A., dkk. 2003. Counseling Multicultural and Diverse Populations: Strategies for Practitioners FOURTH EDITION. New York: Brunner-Routledge.
Lee, Wanda M.L., dkk. 2007. Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals second edition. New York: Routledge Taylor & Francis Group.