HUBUNGAN BUDAYA DENGAN PELAKSANAAN
KONSELING
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Multi Budaya
Kelas
BK A Semester III
Kelompok 08
Disusun
oleh:
Ansyah Arifin
Made 12001039
Laili Ni’amah 1300001034
Nurrahma
Hikmanisa 1300001035
Annisa Rizki Suryandari 1300001046
Aghniawati ahmad 1300001061
Wahyu nugroho budiyanto 1300001069
Program
Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Ahmad Dahlan
Yogyakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SAW,
berkat berbagai rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kami diberi
kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa tercurahkan bagi sebaik-baik makhluk, sebaik-baik manusia yang
diutus bagi seluruh umat, yaitu Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Begitu pula bagi para sahabat, keluarga, serta orang-orang yang mengikuti sunahnya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing serta teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam
menyelesaikan tugas ini.
Semoga dalam penyusunan tugas materi “Pendidikan Multi Budaya“ ini
dapat meningkatkan pengetahuan dan penerapannya
tentang Hubungan Budaya dengan Pelaksanaan Konseling. Khususnya bagi kami sendiri umumnya bagi semua
pembaca. Kajian dalam tugas ini dibuat sederhanan agar mempermudah dalam pemahaman, harapanya dapat
menjadi jawaban atas pertanyana
dalam matakuliah Pendidikan Multi Budaya
dan menjadi referensi yang signifikan dalam pengembanganya kedepan.
Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Demikian tugas ini dibuat agar dapat bermanfaat.
Yogyakarta, 2 Nopember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan peradaban manusia berlangsung begitu pesat,
yang dipicu oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat memasuki era informasi atau
globalisasi. Kemajuan tersebut menyebabkan terjadinya mobilitas penduduk,
modal, nilai, idiologi dan sebagainya dari satu wilayah ke wilayah lain,
akibatnya suatu Negara, daerah atau suatu kota bermukim penduduk yang beragam
budayanya.
Globalisasi memang satu sisi dapat melahirkan budaya
global, universalisasi budaya, tetapi di sisi lain juga mendorong setiap
kelompok budaya, berjuang untuk meneguhkan identitas budayanya (cultural identity), sehingga keragaman
budaya semakin berkembang.
Keragaman budaya ini, dalam kondisi normal dapat
menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah, dapat
menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya. Bahkan
dapat terjadi benturan antar budaya (clash
of culture).
Seorang Konselor harus mempunyai apa yang disebut dengan Knowledge atau pengetahuan, dimana
pengetahuan ini sangat perlu untuk seorang konselor karena untuk membuat proses
Konseling ini berjalan dengan lancar dan tidak membosankan, yang ditekankan
dalam makalah ini dalah pengetahuan dan pemahaman tentang Hubungan Budaya dalam
Proses Knseling.
Tidak mudah untuk melakukan Proses Konseling kaitannya
dengan perbedaan Budaya antara Konselor dan Konseli, dalam makalah ini akan
dibahas bagaimana Hubungan Budaya dalam Proses Konseling untuk mempermudah
Konselor dalam melakakan proses Konselingnya, agar Proses Konseling itu
berjalan dengan baik dan berhasil.
B. TUJUAN
Penulisan makalah bertujuan untuk:
1.
Mengetahui konsep
konseling lintas budaya. 2. Mengetahui asas, prinsip, dan hambatan konseling lintas budaya.
3. Mengetahui dimensi- dimensi dalam konseling lintas budaya.
4. Mengetahui karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
1. PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Pedersen (1990), Ivey dkk. (1993) menyebut bahwa
konseling lintas budaya merupakan “fourth
force” atau kekuatan keempat dalam gerakan konseling, yaitu setelah gerakan
psikodinamik (Freud, Young, Alder, From, dkk).
Secara singkat konseling lintas budaya diartikan konseling
yang dilakukan dalam budaya yang berbeda.
Hubungan antara kebudayaan dalam konseling adalah
kebudayaan ada pada individu yang terlibat dalam konseling. Bahkan seluruh aspek dalam
konseling terkait dengan budaya.
Di Amerika banyak ahli seperti Sue (1981) menyatakan
bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan pada kelompok-kelompok minoritas, misal kelompok
kulit hitam, hispanic,
indian, keturunan asia di amerika dan sebagainya.
Para ahli lain menyebutkan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling
yang duberikan kepada mereka yang sama
budayanya dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda. Misalnya
homoseksual.
Definisi konseling lintas budaya yang lebih akhir
menyatakan konseling lintas budaya terjadi apabila proses konseling terdapat
perbedaan-perbedaan budaya antara konselor dengan klien. Perbedaan antara
keduanya muncul sebagai proses hasil sosialisasi dalam kebudayaan yang berbeda
( locke, 1990).
Dapat dkemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu “
suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda
budayanya, dan dilakukan dengan melibatkan budaya subjek yang terlibat dalam
konseling”.
Dari uraian definisi konseling, Ivey dkk (1993) mencatat adanya dua kecenderungan dalam bidang konseling
lintas budaya, yaitu pendekatan universal (the
universal approch) dan pendekatan secara khusus (the focused cuklture spesific approch). Pendekatan universal
mensyaratkan dalam proses konseling terkait dengan budaya dan harus
mempertimbangkan budaya. Pendekatan khusus lebih memfokuskan pada suatu budaya
kelompok tertentu, yaitu melihat individu dan sebagai anggota suatu kelompok
budaya, seperti konseling pada keturunan Asia dll.
2. LATAR BELAKANG KONSELING LINTAS BUDAYA
Globalisasi memang satu sisi dapat melahirkan budaya
global, universalisasi budaya, tetapi di sisi lain juga mendorong setiap
kelompok budaya, berjuang untuk meneguhkan identitas budayanya (cultural identity), sehingga keragaman
budaya semakin berkembang.
Keragaman budaya ini, dalam kondisi normal dapat
menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah, dapat
menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya. Bahkan
dapat terjadi benturan antar budaya (clash
of culture).
Sumber-sumber hambatan yang menyebabkan adanya konflik
antara lain nonverbal, stereotype, kecenderungan menilai, kecemasan dan
sebagainya (Prayitno dan Erman Amti, 1994). Setiap kebudayaan, menurut
Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem, yaitu :
1. Sistem
budaya (budaya nilai)
2. Sistem
sosial
3. Kebudayaan
fisik
Seluruh unsur budaya akan membentuk unsur-unsur subyektif
pada diri individu,yang meliputi berbagai konsep dan assosiasi, sikap
kepercayaan, harapan, pendapat, persepsi, stereotype dan sebagainya. Kebudayaan
sangat mempengaruhi perilaku
individu,bentuk, arah dan orientasi hidup manusia, ekspresi emosi, bahkan kriteria
perilaku sehat atau bermasalah diwarnai oleh kebudayaannya.
Dalam konseling ada dua komponen pokok yang terlibat,
yaitu klien dan konselor. Ivey dkk (1993:127) mengemukakan model hubungan klien
dengan konselor yaitu:
Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu
dipengaruhi oleh budaya dan latarbelakang sejarah klien dan konselor. Konselor
dan klien
berinteraksi dengan membawa seperangkat budayanya masing-masing untuk menuju
suatu proses konseling.
Keseluruhan komponen bersama menuju proses konseling,
termasuk merumuskan tujuan konseling budaya yang berlaku pada diri konselor,
klien, lingkungan dan teori yang digunakan. Berdasarkan uraian diatas dapat
dikemukakan latar belakang perlunya konseling lintas budaya, yaitu:
- Adanya kecenderungan budaya global dan transformasi budaya, dimana kehidupan masyarakat semakin terdiri dari berbagai budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
- Setiap budaya akan membentuk pola kepribadian, tingkah laku secara khusus, termasuk dalam proses konseling.
- Adanya proses akulturasi atau percampuran antar budaya.
- Adanya berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan, terutama pendekatan psikodinamika, behavioristic- kognitivistik , eksestensial humanistic, yang kurang mempertimbangkan aspek budaya.
- Adanya berbagai pendekatan konseling yang bersumber dari nilai-nilai budaya asli masyarakat (indigineous value), dan berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.
B. ASAS, PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA
1. ASAS – ASAS KONSELING LINTAS BUDAYA
Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional, maka harus
dilakasanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisiensi dan
efektifitas layanan. Kaidah
tersebut didasarkan keilmuan layanan, kondisi masyarakat dengan beragam latar
belakang budaya, dan tuntutan optimalisasi proses penyelengaraan layanan.
Kaidah tersebut di sebut asas-asa layanan.
1. Asas
Kerahasiaan
Konselor
harus menjamin kerahasiaan semua data yang di sampaikan klien. Asas ini
merupakan asas kunci dalam layanan konseling lintas budaya.
2. Asas
Kesukarelaan
Proses konseling harus berlangsung atas dasar sukarela
baik dari konselor maupun klien. Klien dengan sukarela menyampaikan masalah
tanpa terpaksa yang diperlukan konselor, dan konselor memberikan bantuan dengan sukarela.
3. Asas
Keterbukaan
Dalam konseling dieprlukan suasana saling terbuka baik
konselor maupun klien. Konselor harus terampil, terbuka, asli, otentik, tampil apa
adanya. Klien harus mau membuka diri menyampaikan masalah secara terbuka, jujur
tentang keadaan
dirinya.
4. Asas
Kegiatan
Layanan
konseling harus dilakukan dengan usaha dari klien maupun konselor. Konselor
harus mampu membangkitkan kemauan klien sehingga mampu dan mau melaksanakan kegiatan.
Konselor harus aktif membantu klien.
5. Asa
Kemandirian
Diharapkan dengan
layanan konseling, klien dapat mandiri, tanpa harus selalu bergantung pihak lain. Maka klien
diarahkan dan
diberi kesempatan untik mampu memeutuskan dan membuat keputusan sendiri.
6. Asas
Kekinian
Konselor tidak boleh
menunda-nunda bantuan, bantuan yang diberikan hendaknya sesuai dengan perkembangan
jaman. Bukan kecenderungan lama atau impian masa depan.
7. Asas
Keterpaduan
Layanan konseling
hendaknya menjunjung tinggi harmonis dan terpadu. Maka diperlukan kerjasama
yang harmonis dari berbagai pihak yang terlibat. Isi dan proses layanan harus terpadu
, tidak saling tumpang tindih.
8. Asas
Kedinamisan
Layanan konseling
menghendaki terjadinya perubahan pada klien. Yaitu perbubahan tingkah laku ke
arah yang lebih baik, maju dan terus berkembang .
9. Asas
Kenormativan
Layanan konseling
didasarkan pada norma-norma yang berlaku baik norma adat istiadat, norma
sosial, norma agama dsb. Asas ini diterapkan terhadap tujuan, isi, alat maupun
proses konseling harus dapat dipertanggungjawabkan secara noirmatif.
10. Asas
keahlian
Layanan konseling
lintas budaya harus dilakukan dengan asas keahlian sehingga
layanan dilakukan secara teratur, sistematik, prosedur dan teknik yang memadai.
Oleh karena itu konselor harus mempunyai pendidikan/latihan pengalaman yang
memadai.
11. Asas
Alih Tangan
Dalam layanan
konselinglintas budaya, pihak-pihak yang tiudak mampu menyelengarakan layanan
secara tepat katena keterbatasan kewenangan dan kompetensi, supaya melakukan
alih tangan (refereal) kepada pihak lain yang lebih
kompeten.
2.
PRINSIP – PRINSIP KONSELING LINTAS BUDAYA
Dalam konseling lintas budaya, prinsip-prinsip yang
digunakan bersumber dari kajian filosofis, teoritis, hasil penelitian dan
kajian pengalaman dalam praktek
bimbingan dan konseling yang berwawasan budaya. Prinsip-prinsip
konseling lintas budaya banyak yang bersifat hipotesis, berupa pemikiran, dan
masih terus berkembang.
Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para
praktis, peneliti, dan ahli-ahli teori tentang prinsip-prinsip konseling lintas
budaya, yaitu:
- Teknik atau aktivitas para konselor semakin berubah. Yaitu menyesuaikan atau menerapkan dalam lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini bukan berarti konseling secara otomatis mengikuti budaya klien apa adanya.
- Permasalahan dalam proses konseling akan cenderung meningkat, jika antara klien dan konselor terdapat perbedaan kebudayaan yang semakin melebar.
- Permasalah atau problem, pola-pola perilaku bermasalah akan berbeda-beda dalam berbagai budaya.
- Norma,harapan, perilaku stress juga memiliki keragaman antara kebudayaan. Klien-klien dari berbagai budaya memiliki cara yang berbeda dalam penyesuaian diri.
- Konsep-konsep konseling dan pola-pola membantu berkaitan dengan suatu kebudayaan.
Prayitno dan Erman Amti (1994:176) mencatat beberapa
hipotesis yang berkaitan dengan konseling antar budaya, yang dikemukakan oleh
Pedersen dkk, yaitu:
- Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antar budaya yang ada pada konselor dan klien,maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
- Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan,komunikasi terbuka, dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
- Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkahlaku, maka afektiflah konseling dengan klien tersebut.
- Semakin bersifat personal dan penuh suasana emosional dalam konseling antar budaya maka mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.
- Keefektifan konseling antar budaya tergantung pada sensitifitas konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya, dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
- Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup sehari-hari dengan budaya tertentu akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tertentu.
- Semakin klien kurang memahami proses konseling,semakin perlu konselor atau program konseling antar budaya memberikan pengarahan/latihan kepada klien tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (menggunakan keterampilan dalam situasi yang berbeda).
- Keefektifan konseling antar budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman klien dan konselor tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
- Konseling antar budaya akan meningkat keefektifannya dengan adanya pengetahuan yang dimanfaatkannya kelompok-kelompok antar budaya yang berpandangan amat menentukan terhadap klien.
- Keefektifan konseling antar budaya akan bertambah dengan meningkatnya kesadaran konselor tentang proses adaptasi, dan dengan pemahaman tentang berbagai keterampilan yang diperlukan bagi klien untuk memasuki budaya yang baru.
- Meskipun konseling antar budaya memerlukan pertimbangan tentang kehidupan sekarang dan kemungkinan tugas/ kegiatan yang akan datang, focus yang paling utama adalah hal-hal yang amat dipentingkan klien.
- Meskipun terdapat perbedaan besar tentang berbagai aspek budaya yang berlainan, bahasa dan teori-teori konseling, elemen pokok konseling antar budaya tidak jauh beda dengan konseling pada umumnya.
- Model konseling yang khusus dirancang untuk pola kebudayaan tertentu akan efektif terhadap klien yang berasal dari kebudayaan tersebut dari pada budaya lain.
- Konseling antar budaya akan efektif apabila konselor memperhatikan klien sebagai individu yang special atau khusus.
3.
PERMASALAHAN
KONSELING LINTAS BUDAYA
Prayitno dan Erman amti (1994) mengutip pendapat perdesen
dkk, yang mengetengahkan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul didalam
kominikasi dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu berkenaan dengan perbedaan
bahasa, komunikasi non verbal, stereotip,
kecenderungan menilai, dan kecemasan.
Sue (1981: 4) mencatat tiga hal yang menjadi sumber
hambatan atau kegagalan layanan konseling lintas budaya, yaitu : (1). Program
pendidikan dan latihan konselor, (2). Literatur konseling dan kesehatan mental
, (3). Proses dan praktik konseling.
1. Program
pendidikan dan latihan konselor
Umumnya
program pendidikan/ latihan konselor (kurikulum, proses pembelajaran dll)
mengacu pada budaya klas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki
pemahaman, kesadaran, keterampilan, dan pengalaman konseling yang memiliki
budaya berbeda dengan budaya barat ( Eropa- Amerika).
2. Kesehatan
mental
Program
pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultural encapsulation, mereka memiliki
pandangan monokultural tentang kesehatan mental dan pandangan sterotip yang
negatif terhadap budaya lain.
3. Praktek
konseling professional selama ini dilakukan menggunakan praktek ilmiah, yang
mengacu budaya empiristik, individualistic, kebebasan, dan sebagainya.
Sue (1981: 28) juga
mencatat tiga hambatan dalam konseling lintas budaya, yaitu: (1). Hambatan
bahasa, yaitu dimana bahasa sering terdapat perbedaan bahasa (verbal dan non
verbal ) antara bahasa konselor dengan klien, (2). Hambatan pendekatan kelas,
dimana status antara konselor dengan klien, misalnya konselor berasal dari
kelas menengah kulit putih sementara klien berasal dari bawah ( minoritas
keturunan afrika, keturunan Asia dll),(3) hambatan perbedaan klien antara
konselor dengan klien.
Handani (1997)
mengutip pendapat Fukuyama (1990) yang mengetengahkan beberapa isu yang sering
muncul dalam konseling lintas budaya, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan
dikotomic etnic-etnic , hubungan atau teknik, hubungan bilateral antara
konselor dan klien serta dilemma autoplastic dan alloplastic.
1. Isu
etnic dan emic
Berkaitan
dengan isu etnic dan emic, para peneliti counseling lintas budaya sering
menggunakan isilah etnic (culturally
generalized) dan emic (culturally
specific) untuk menjelaskan strategi-strategi yang berbeda dalam
peneliiannya pendekatan etnic melibatkan peneliti yang berasal dari budaya
tertentu.
Dikotomi
etnic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan suatu kebudayaan,
dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar klien. Sudah barang tentu
pandangan yang seimbang antara emic dan etic perlu dilakukan dalam konseling
lintas budaya, sebab ada kalanya konseling lintas budaya berusaha mengembangkan
budaya klien yng mungkin tidak sejalan dengan arus utama budaya yang berlaku.
2. Isu
hubungan konselor- klien versus teknik-teknik konseling
Problem
kedua berkaitan dengan hubungan konselor klien versus teknik-teknik koseling.
Isu ini sebenarnya mengacu pada persoalan-persoalan apakah proses konseling
perlu dilakukan dalam kerangka budaya konselor atau budaya klien, apa esensi
konseling sebenarnya?
Konselor perlu penyiapan diri
untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan latar budaya klien. Dengan demikian konseling
lintas budaya lebih merupakan pengadaptasian teknik-teknik yang dipakai
konselor sesuai dengan latar budaya klien.
3. Isu
hubungan bilateral antara konselor-klien
Hubungan
bilateral yang dimaksud
adalah hubungan konselor dengan klien yang mengacu pada tingkat proses belajar
dalam konseling yang mampu mempengaruhi konselor maupun klien. Apabila kesenjangan budaya
dalam konseling dapat menjembatani, maka pengalaman subjektif yang
terkomunikasi dalam proses konseling dapat menjadi ‘jendela’ yang dapat
digunakan oleh
konselor maupun klien untuk saling ‘melirik’ kebudayaan yang dianut
masing-masing pihak.
4. Isu
dilema autoplastic- alloplastic
Konsep
autoplastic mengacu pada bagaimana mengakomodasi seseorang pada latar dan
struktur social yang bersifat given (jadi). Konsep alloplastic mengacu pada
pembentukan realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan individu. Konsep-
konsep ini berkaitan dengan tujuan
proses konseling, karena konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan
seberapa konselor dapat membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada,
dan seberapa jauh konselor dapat mendorong terbentuknya realitas yang sama
dengan realitas yang ada pada diri konselor.
C. DIMENSI – DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
1. SISTEM
KEBUDAYAAN DALAM
BIMBINGAN KONSELING
Kebudayaan sebagai hasil budidaya manusia, mencakup
seluruh segi dan bidang kehidupan, baik yang sifatnya abstrak maupun yang konkrit. Kuntjaraningrat (1990, dalam
Jumarin) menjelaskan dilihat dari wujudnya kebudayaan terdiri dari tiga sistem
yaitu :
1) Sistem
budaya atau nilai budaya
Berisi kompleks
ide-ide, gagasan,
konsep, dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam
menghadapi kehidupan. Nilai
budaya ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, kenyataan dan
sebagainya.
2) Sistem
sosial
Yaitu
tindakan berpola (habit of doing)
yang terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi
(berhubungan) serta bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang kemudian
menetap dalam bentuk adat tata perilaku.
3) Kebudayaan
fisik
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik,
konkrit, dapat berbentuk benda-benda yang diraba.
Ketiga sistem budaya tersebut saling terkait, dimana
sistem nilai menjiwai, mewarnai dan mendasari sistem sosial dan kiebudayaan
fisik. Seluruh sistem sosial dan kebudayaan fisik diwarnai oleh sistem nilai.
2. DIMENSI
BUDAYA DALAM KONSELING
Terdapat tiga variabel utama yang terlibat dalam proses
konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor yaitu :
1) Variabel
konselor
Konselor
yang akan memberikan pelayanan sudah membawa seperangkat karakteristik, baik
yang sifatnya personal, sosiostruktural maupun profesional.
2) Variabel
klien
Klien
juga membawa seperangkat karakteristik, baik personal-sosio-kultural dan
pengalam hidup. Yang meliputi ; aspek biologis, budaya, gaya kognitif, bakat,
minat, kecakapan dan perilaku.
3) Variabel
proses konseling
Semua
aspek baik konselor, klien dan proses terlibat dalam konseling. Dalam
konseling, pendekatan dimensi kultural selalu terlibat dan mewarnai seluruh usaha
konseling, baik sebelum proses konseling dimulai (budaya yang melekat pada
konselor dan klien).
D. KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
Sebagian besar kesalahpahaman antara dominan Amerika
kelompok budaya dan orang-orang dari budaya lain tersebut diberikan untuk
anggota kelompok dominan yang percaya bahwa setiap orang adalah seperti mereka
atau setidaknya harus menjadi seperti mereka. Banyak di kelompok ini
mengasumsikan bahwa "semua orang berbagi pandangan kita tentang
dunia." Orang-orang yang cenderung menganggap kesamaan juga cenderung
kurang berkeinginan untuk memahami orang-orang yang secara sosial atau budaya
yang berbeda dari mereka. Sadar atau tidak sadar, orang-orang yang salah dengan
asumsi kesamaan biasanya tidak ingin mengubah. Berubah, ketika itu terjadi,
terjadi sebagai akibat dari perendaman jangka panjang dalam budaya atau
kelompok yang berbeda dari seseorang kontak jangka panjang sendiri, atau dengan
orang atau orang yang berbeda dari diri seseorang.
1. KESADARAN
KONSELOR
Kebutuhan konselor untuk menyadari budaya mereka sendiri dan budaya suatu
kelompok penduduk, agar lebih efektif dalam melayani kelompok masyarakat dan
beragam budaya. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran para konselor di Amerika
Serikat, terlepas dari budaya. Beberapa alasan terkait dengan keprihatinan ini adalah: meningkatnya mobilitas, pertumbuhan
kelompok minoritas ras dan etnis, pengakuan bahwa masyarakat terdiri dari
berbagai kelompok, penuaan orang berkulit Putih
penduduk Amerika, dan tingkat kelahiran orang
berkulit putih Amerika yang menurun.
Yang pertama adalah mobilitas yang semakin meningkat dari
masyarakat dunia. Munculnya telepon, televisi, pesawat terbang, radio,
komputer, mesin fax, e-mail, dan lainnya bahkan teknologi yang lebih baru telah
memberikan kemudahan untuk mengakses bahkan
daerah terpencil yang ada di penjuru bumi. Negara dan masyarakat tidak lagi terisolasi. Kemajuan dunia dalam teknologi menyebabkan keterkaitan
dan saling ketergantungan, sehingga menuntut kesadaran budaya yang lebih
besar. Kemajuan dalam teknologi
komunikasi digabungkan dengan peningkatan perjalanan di seluruh dunia pasti
telah memberikan kontribusi untuk arti globalisasi.
Alasan lain bagi konselor untuk menyadari budaya mereka
sendiri dan kelompok penduduk terkait dengan tingkat pertumbuhan kelompok minoritas dan pengakuan seiring keragaman dalam Amerika
Serikat. Sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa ras kulit putih Amerika proporsi
dari total populasi di Amerika Serikat turun dari 80.3% pada 1990 menjadi 75,1%
pada tahun 2000 (US Biro Sensus, 2000). Konselor memiliki tanggung jawab untuk
menyadari akan nilai-nilai, bias, stereotip, dan asumsi tentang perilaku
manusia serta penduduk kelompok di Amerika Serikat. Tanpa kesadaran dan
pemahaman sebagai konselor, kita mungkin secara tidak sengaja akan memberikan
pelayanan yang sama, padahal budaya setiap kelompok tentu berbeda – beda.
Pentingnya untuk menyadari, mau untuk mengubah, atau
tidak menantang asumsi-asumsi kita sendiri mempromosikan pandangan etnosentris.
Konselor yang tidak menyadari warisan budaya dan etnis mereka sendiri, beresiko
memaksakan nilai pada klien melalui asumsi kelompok belajar atau perilaku
nonverbal. Mereka akan terbatas dalam memberikan pelayanan terhadap beragam
kelompok atau budaya yang berbeda. Cukup pemahaman perspektif klien dan
kurangnya keterbukaan akan perbedaan menghambat kemampuan konselor untuk
memberikaan pelayanan. Klien dalam lintas budaya sering kurang memahami isu-isu
tertentu dalam budaya baru (Misalnya, komunikasi, kontak mata, gerak tubuh,
ekspresi, dll). Untuk melaksanakan pelayanan yang efektif, konselor harus
mengetahui daerah di mana klien-klien lintas-budaya cenderung kurang informasi
atau mereka mungkin belum terbiasa. Sehubungan dengan konseling yang efektif
pada budaya yang berbeda atau beragam populasi, konselor juga perlu tahu kapan
untuk merujuk. Konselor yang tidak menyadari budaya mereka sendiri dan
perbedaan budaya berisiko tidak sengaja menyinggung klien dan / atau menjadi
tersinggung oleh perilaku klien.
Pertama-tama kita harus mempertimbangkan bagaimana kita mengasimilasi
karakteristik budaya tanpa menyadari bahwa kita memiliki budaya tersebut.
Selain itu, penting untuk merenungkan proses menjadi sadar, pertama budaya kita
sendiri atau kelompok, dan kemudian budaya atau kelompok lain.
2. BELAJAR BUDAYA
Orang belajar budaya mereka melalui enkulturasi, sebuah proses yang
mereka memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk fungsi tertentu dalam
sistem sosiokultural (Spradley & Phillips, 1972). Sebuah enkulturasi yaitu
orang telah memasukkan norma-norma budaya tertentu seperti ketelitian bahwa
orang tersebut mencontohkan budaya yang telah ada. (Ward, 1984, p. 54). Menjadi
enkulturasi tanpa kesadaran pribadi budaya dapat menyebabkan enkapsulasi
budaya. Enkapsulasi adalah didefinisikan secara metaforis oleh Augsburger
(1986) sebagai kecenderungan alami di antara manusia melihat dunia sebagai peregangan
hanya dari horizon ke horizon atau merasa satu hanya dengan orang-orang yang
telah akrab. Augsburger selanjutnya mengatakan bahwa konselor sangat rentan
terhadap enkapsulasi budaya. Sensitivitas mereka terhadap pola komunikasi
verbal dan kecenderungan untuk menafsirkan pola-pola sesuai dengan budaya yang
sesuai dengan asumsi mereka. Pada saat yang sama, keterampilan ini dapat
membantu konselor budaya sadar dalam menghadapi dan mengatasi enkapsulasi.
Enkapsulasi budaya tidak timbul dari suatu keinginan yang berbahaya untuk
tumbuh ke dalam dan tidak menyadari tetapi dari kesadaran terbatas seseorang
terhadap budaya dan etnis sendiri, budaya dan kelompok lain, dan perbedaan yang
signifikan antara budaya.
Berkenaan dengan konselor,
enkapsulasi budaya dapat disebabkan oleh:
a. Kurangnya paparan kelompok yang beragam, baik karena pilihan atau
kebetulan;
b. Pentingnya memahami perbedaan budaya antara diri mereka dan klien mereka;
c. Mempertahankan keyakinan yang salah bahwa metode-metode tertentu dalam konseling
dan terapi yang berlaku secara universal;
d. Kurangnya kemauan untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan keyakinan
mereka sendiri, khususnya yang terkait stereotip, bias, dan asumsi.
Konselor perlu memahami tentang
konsep enkulturasi, hal ini sangat penting karena:
1)
Untuk memahami bahwa setiap
individu memegang nilai-nilai, bias, stereotip, dan pola komunikasi yang
dibentuk oleh budaya;
2)
Mengenali nilai-nilai, bias,
stereotip, dan pola komunikasi dalam dirinya sendiri sementara pada saat yang
sama pemahaman proses dimana kesadaran terjadi;
3)
Untuk mengenali perbedaan
antara budaya satu dengan budaya lain dalam rangka untuk belajar dan memahami
sifat istimewa dari budaya lain.
Dengan cara ini konselor akan dapat bergabung dengan budaya orang lain
untuk tujuan konseling.
3. KARAKTERISTIK KONSELOR SECARA UMUM
Karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya
secara umum sama dengan konselor pada umumnya, yang harus memiliki kompetensi
profesional dan personal. Steward dkk
(1978:72) mengemukakan kompetensi konselor yang pokok yaitu sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Muh.Surya (1987:122) mengemukakan karakteristik konselor
yaitu pengalaman, tipe-tipe hubungan dalam konseling, dan factor-faktor non intelektual.
a. Kredibilitas Konselor
Kredibilitas mencakup
arah set problem solving, consistency dan
identification.
b. Daya Tarik Konselor
Rollo May (Jumarin 2002)
“Jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan
memiliki niat baik terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan
menjadi orang yang menarik bagi orang lain.
c. Kekuasaan (power)
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan
(compliance). Ktundukan tersebut timbul karena adanya interaksi antara konselor
dengan klien.
4. KARAKTERISTIK
KONSELOR SECARA KHUSUS
Bagi konselor yang memberikan konseling lintas budaya,
kualifikasi tersebut terkait dengan beragam budaya klien, sehingga kualifikasi
konselor sangat luas dan mungkin berbeda antara klien satu dengan yang lain.
a. Kualitas
personal/ pribadi konselor
Pribadi konselor merupakan hal yang sangat essensial dan
instrument yang efektif dalam konseling. Rollo May (1997:165) mengutip pendapat
Adler bahwa “bagi konselor teknik perlakuan (treatment)
harus berada dalam dirinya sendiri”. Munro dkk (1979) mengemukakan bahwa tidak
ada pola yang tegas tentang sifat atau ciri-ciri kepribadian yang harus
memiliki konselor yang
efektif, tetapi sekurang-kurangnnya konselor memilki sikap yang luwes, hangat,
dapat menerima orang lain, terbuka, empati, mengenal dirinya sendiri, tidak
pura-pura, menghargai orang lain, tidak mau menang sendiri, dan objektif.
b. Kompetensi
profesional konselor lintas budaya
Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas
budaya, harus memiliki kompetensi profesional. Konselor yang memberikan layanan
konseling lintas budaya harus memiliki sejumlah kompetensi yang terkait dengan
konseling lintas budaya.
c. Ketrampilan
khusus konselor
Konselor harus memiliki atau menguasai sejumlah
ketrampialn khusus dalam menyelenggarakan konseling lintas budaya. Ketrampilan
tersebut merupakan bentuk ketrampilan konseling yaitu kecakapan motorik yang
ditunjukan dalam menyelenggarakan proses konseling, mulai menyiapkan konteks
sampai menutup atau mengakhiri suatu kasus. Beberapa jenis ketrampilan
yang harus dimiliki oleh konselor dalam konseling lintas budaya adalah :
1) Ketrampilan
menyiapkan tata formasi dalam proses konseling
2) Ketrampilan
memperhatikan
3) Ketrampilan
mengeksplorasi masalah
4) Ketrampilan
dalam mengembangkan inisiatif
(merumuskan tujuan, mengembangkan program)
5) Ketrampilan
dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti ketrampilan
menginterpetasi, ketrampilan memilih starategi yang tepat dalam pelaksanaan
proses konseling.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hubungan antara kebudayaan dalam konseling adalah
kebudayaan ada pada individu yang terlibat dalam konseling. Bahkan seluruh aspek dalam
konseling terkait dengan budaya.
Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu
dipengaruhi oleh budaya dan latarbelakang sejarah klien dan konselor. Konselor
dan klien
berinteraksi dengan membawa seperangkat budayanya masing-masing untuk menuju
suatu proses konseling.
Ketiga sistem budaya tersebut saling terkait, dimana
sistem nilai menjiwai, mewarnai dan mendasari sistem sosial dan kiebudayaan
fisik. Seluruh sistem sosial dan kebudayaan fisik diwarnai oleh sistem nilai.
Terdapat tiga variabel utama yang terlibat dalam proses
konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor yaitu : Variabel
konselor, Variabel klien, dan Variabel proses konseling.
B. SARAN
1. Sebagai
calon konselor, kita harus mengetahui hal – hal yang mendukung terlaksananya
bimbingan dan konseling terutama dalam layanan
BK lintas budaya.
2. Perlu pemahaman yang serius dari konselor tentang
menghadapi kliaen yang berbeda budaya, dalam layanan konseling. Atau dapat
dipahami tentang layanan konseling lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Jumarin, M. 2002. Konseling Lintas-Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Vacc, Nicholas A., dkk. 2003. Counseling Multicultural and Diverse Populations: Strategies for
Practitioners FOURTH EDITION. New York:
Brunner-Routledge.
Lee, Wanda M.L., dkk. 2007. Introduction to Multicultural
Counseling for Helping Professionals second edition. New York: Routledge Taylor &
Francis Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar