Kamis, 04 Agustus 2016

LAYANAN KONSELING DENGAN BUDAYA JAWA (SEMARANGAN)

LAYANAN KONSELING DENGAN BUDAYA JAWA (SEMARANGAN)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Jawa merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Jawa memiliki kepercayaan dan kebudayaan terhadap perempuan. Salah satu anggapan yang selama ini menjadi kepercayaan di Jawa adalah, perempuan dainggap sebagai sosok yang selalu berada di belakang laki – laki.
Zaman memang telah berubah menjadi lebih modern. Namun anggapan masyarakat belum juga berubah. Kebanyakan orang tua melarang anak permpuannya untuk menuntut ilmu diluar kota, atau jauh dari kedua orang tuanya, karena adat yang ada seakan memperkuat bahwa perempuan haruslah dirumah membantu kedua orang tuanya, atau dinikahkan ketika sudah cukup umur.

Didaerah pantura, boyolali, maupun daerah Jawa pada umumnya kepercayaan seperti ini ternyata masih ada. Namun, ada satu produk budaya Jawa berupa tokoh pewayangan yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang tangguh dan memiliki kedudukan yang sama.
Dalam makalah ini, akan dibahas tentang layanan konseling yang dapat diberikan terkait kasus tersebut dengan menggunakan budaya Jawa yang ada di Boyolali, Klaten, Pekalongan, dan Jepara. Beberapa kota tersebut masih ada kaitannya dengan budaya Jawa yang cenderung mengikuti Jawa Surakarta Hadiningrat.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan:
1.      Bagaimana kebudayaan Jawa Tengah?
2.      Bagaimana peran dan kedudukan perempuan Jawa?
3.      Bagaimana pendekatan pemecahan masalah menggunakan budaya Semarangan?

C.    TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah unutk:
1.      Mengetahui kebudayaan Jawa Tengah
2.      Mengetahui peran dan kedudukan perempuan Jawa
3.      Mengetahui pendekatan pemecahan masalah menggunakan budaya surakarta dan pantura terkait dengan kasus tersebut




BAB II

PEMBAHASAN

A.    KEBUDAYAAN JAWA TENGAH

Kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau jawa. Ada daerah-daerah yang secara kolektif disebut dengan daerah Kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, Kediri. Daerah diluar itu dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur.
Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut. Di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa dan lain-lainnya. Meskipun demikian variasi-variasi dan perbedaan tersebut tidaklah besar karena apabila diteliti hal-hal itu masih menunjukkan pola ataupun satu sistem kebudayaan Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa.

B.     PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN JAWA

1.      Pengertian wanita dalam budaya jawa.
Dalam masyarakat jawa wanita sering di sebut dengan istilah wadon, wanita, estri atau putri. Istilah tersebut mempunyai pengertian tresendiri bahkan membawa konsekuensi ideologi tersendiri. Untuk mebuktikannya mari kita lihat satu-persatu uraian pengertian di atas
a.       Wadon, kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu”, yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering di artikan bahwa perempuan ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan) sang guru laki (suami).
b.      Wanita, kata ini wanita tersusun dari dua kata bahasa jawa yakni “wani” (berani) dan “tata” (teratur). Dalam pengertian ini wanita memiliki dua pengertian, yaitu wani ditata (berani / mau diatur) dan wani nata (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditata mengandung makna bahwa perempuan harus tetap tunduk dan mau untuk diatur suami, sedangkan istilah wani nata seorang perempuan harus berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang suami.
c.       Estri, kata estri lahir dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren” lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang estri harus mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, lebih-lebih jika sang suami dalam keadaan semangatnya melemah.
d.      Putri, yang berarti anak perempuan. Dalam tradisional Jawa, kata ini sering dikatakan sebagai singkatan putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni seorang perempuan dalam kedudukan putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun estri.
2.      Kedudukan dan Peran Wanita
Diberbagai lapisan masyarakat dan diberbagai tempat muncul perbedaan pandangan tentang kedudukan wanita. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pandangan tersebut, seperti halnya laki-laki digambarkan dengan makhluk yang lebih kuat dibanding perempuan. Dari segi fisik laki-laki lebih kekar dan tegap sehingga dilukiskan lebih memiliki kekuatan dibanding dengan perempuan.
Pada akhirnya, gambaran kondisi fisik ini juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik). Konsep seprti ini sudah melekat di masyarakat khususnya di Jawa, yang kemudian terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah “jender”.
Menurut George Peter Murdock dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa dalam kelompok masyarakat, laki-laki cenderung memilih pekerjaan yang “maskulin” seperti pertukangan, pertambangan, dan pengangkutan. Sementara perempuan memilih pekerjaan yang “feminim” seperti memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga pada umumnya.
Wanita dalam budaya Jawa berada pada posisi di bawah laki-laki. Contohnya, dikalangan masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (teman belakang) yang biasa disebut Istri. Hal ini menunjukan bahwa wanita tidak bisa sejajar dengan laki-laki, dan menjadikan pekerjaan seorang wanita di belakang (di dapur), karena dalam budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis sang suami).
Batasan wilayah kerja bagi wanita seperti itu dapat dirangkaikan sebagai tugas wanita, yaitu macak (berhias untuk menyenangkan suami), manak (melahirkan anak), dan masak (menyiapkan makanan). Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak wanita dikarenakan sibuknya bekerja dalam wilayah domestik. Kondisi ini memunculkan ungkapan “swarga nunut nraka katut”, artinya kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki.
Sejak masih kecil anak perempuan telah diajari dengan tugas domestik yang berada di wilayah sumur, dapur, dan kasur. Sambil menunggu jodoh, mereka diajari cara berdandan, memasak, dan melayani suami. Adapun masa persiapan berumah tangga dalam budaya jawa dikenal dengan istilah “pingitan”, yaitu larangan untuk keluar rumah.
Pandangan terhadap kedudukan perempuan akhirnya sedikit-demi sedikit berubah setelah R.A. Kartini memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh pendidikan. Dikarenakan, keterbelakangan kaum perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Misalnya, pada masa R.A. Kartini yang bisa memperoleh pendidikan hanyalah anak seorang bupati atau wedana. Dalam perjuangannya untuk memperoleh pendidikan bagi perempuan, mendapat dukungan dari J.H. Abendanon. Dalam suratnya yang ditulis kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 9 Januari 1981. Dalam surat itu disebutkan:
“Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor penting untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan Bumiputera tidak akan terjadi secara cepat, jika perempuan ketinggalan dalam bidang itu. Perempuan adalah pendukung peradaban.”
Pendidikan yang dicita-citakan R.A. Kartini tidak hanya menyangkut kecerdasan otak, tetapi juga pembinaan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, tugas perempuan tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membina budi pekerti yang luhur.
Sejak masa Kartini, perempuan Jawa mulai melangkah ke depan. Walaupun membutuhkan proses yang panjang, perjuangan Kartini itu membuahkan hasil, diantaranya adalah makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengenyam pendidikan dan menyadarkan sebagian masyarakat bahwa perempuan memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Karena dengan bekal pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh pekerjaan di luar rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya di wilayah domestik meluas ke wilayah publik.

C.    PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH MENGGUNAKAN BUDAYA SEMARANGAN

Semarangan, termasuk Surakarta dan Pantura (Pantai Utara) memiliki kebudayaan Wayang, yang biasanya dipentaskan dalam acara – acara tertentu. Tokoh pewayangan cukup banyak, diantaranya, Puntadewa, Werkudara, Janaka/Arjuna, Nakula, Sadewa, Punakawan, Kurawa, dan tokoh pewayangan perempuan yaitu Srikandi.
Pada pendekatan kasus diatas, yang menganggap perempuan hanya dianggap sebagai “Kanca Wingking”, dan martabatnya dibawah laki-laki, dalam budaya Jawa yang dikisahkan dalam tokoh pewayangan yaitu Sosok Srikandi menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu dianggap demikian.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Dewi Srikandi menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma. Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
Dalam kisah pewayangan tersebut, jelas terlihat bahwa perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama dengan laki – laki. Sosok Srikandi yang pemberani dan mampu menjadi panglima perang menggantikan panglima sebelumnya yang telah tewas pada peperangan tersebut, menunjukkan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.
Pandangan Jawa terhadap perempuan selama ini, mengganggap bahwa perempuan tidak seharusnya berdiri sejajar dengan laki-laki, karena menganggap perempuan itu sebagai konco wingking. Menurut filosofi cerita pewayangan diatas bahwa wanita mempunyai derajat atau kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada sejarah perempuan, terdapat sosok R.A. Kartini yang atas perjuangannya maka dikenal dengan emansipasi. Masa yang semakin berkembang, hingga masa modern saat ini memperlihatkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kodrat perempuan adalah sebagai sosok yang lemah lembut dan madrasah dalam keluarga. Sehingga, kesetaraan gender antara laki – laki dan perempuan, bukan berarti perempuan memiliki kebebasan sebebas bebasnya.


BAB III

PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Dalam masyarakat jawa wanita sering di sebut dengan istilah wadon, wanita, estri atau putri. Istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri bahkan membawa konsekuensi ideologi tersendiri. Wanita dalam budaya Jawa berada pada posisi di bawah laki-laki. Contohnya, dikalangan masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (teman belakang) yang biasa disebut Istri.
Hal ini menunjukan bahwa wanita tidak bisa sejajar dengan laki-laki, dan menjadikan pekerjaan seorang wanita di belakang (di dapur), karena dalam budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis sang suami).
Gambaran kondisi fisik ini juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik). Konsep seprti ini sudah melekat di masyarakat khususnya di Jawa, yang kemudian terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah “jender”.
Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak wanita dikarenakan sibuknya bekerja dalam wilayah domestik. Kondisi ini memunculkan ungkapan “swarga nunut nraka katut”, artinya kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki.

B.     SARAN

Seharusnya seorang anak perempuan tidak dianggap remeh, karena diantara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kesempatan yang sama. Selain itu seorang wanita harus dijunjung tinggi derajat dan kehormatannya jangan Cuma dijadikan “konco wingking”. Seperti sejarah bangsa Indonesia yang memiliki tokoh wanita yang hebat seperti R.A Kartini dan juga Ibu Megawati Soekarno Putri seorang tokoh wanita yang pernah menjadi Presiden Indonesia. Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa wanita mempunyai kesempatan dan derajat yang sama dengan laki-laki.


DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Anonim. 2012. Perempuan Dalam Adat Jawa.
Rudi Indri. 2013. Wanita dalam Budaya Jawa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar