LENTERA USAI SENJA
By : Laili Ni’amah
2012
Langit kota Jogja memerah. Matahari perlahan ditelan oleh
batas laut. Aktivitas beberapa remaja begitu asik. Memotret keelokan senja yang
menghias pantai. Aku masih duduk dengan anggun. Anggun, mungkin karena aku
memang tengah terdiam. Memasuki detik berikutnya, mataku memerah, mengikuti
merahnya senja hari ini. Senja. Bagian hari yang teramat aku cintai. Menatapnya
memang tiada bosan, apalagi jenuh. Aku mencintai senja. Melebihi cintaku pada
lelaki di sampingku kini.
Hari ini, beberapa jam usai acara perpisahan sekolah. Usai
semua canda tawa yang membalut rasa duka akan perpisahan. Usai ketidakpahamanku
tentang makna perpisahan yang sesungguhnya. Ia masih diam, menahan sesak yang
tiba – tiba merajuk. Pun denganku yang masih menahan rasa tak mengerti
percakapan beberapa jam yang lalu. Hembusan angin seakan membangnukan kami.
"Bukankah lebih baik Aku meninggalkanmu dengan kejujuran
dari pada tetap bersamamu namun dengan kepalsuan?"
Hening, tak ada suara lain selain hembusan napas laki-laki
itu.
"Bukankah perpisahan ini menjadi hal yang teramat
menyakitkan untukmu? Kau kini masih muda, masih memiliki segala kelebihan yang
tak ku lihat pada yang lain. Aku melepaskanmu karena Aku sangat menghargaimu.
Jika Aku tak mampu memberimu senyuman, setidaknya Aku tak lagi memberikanmu
tangisan. Aku pergi, bukan Aku membencimu. Tapi Aku
tak ingin melukaimu lebih dalam. Kau masih punya banyak waktu untuk
menyembuhkan luka itu. Tak sepertiku yang entah membutuhkan waktu berapa lama untuk
menyembuhkan luka dibatinku. Luka, karena telah melukaimu."
Aku menunduk. Tak ada ekspresi apapun. Ia
melanjutkan ucapannya.
"Kau senantiasa lebih baik dari pada Aku.
Kau yang mengajarkanku tentang kesetiaan, perjuangan, kejujuran, dan kegigihan.
Aku berterima kasih atas semua itu. Kau yang telah mempersembahkan semua itu untukku.
Lantas Aku mematahkan semuanya tanpa peduli bagaimana lukamu. Tapi percayalah,
lukaku lebih dalam dan menyakitkan. Karena Aku telah menggoreskan luka pada
diri kita."
Aku pergi. Tanpa ekspresi. Meninggalkannya,
dengan penjelasan yang masih menggantung. Tak peduli. Senja kali ini beriringan dengan mendung.
Menutup keindahan yang telah dinanti. Senja
kali ini berhiaskan kesedihan. Menutup
kebahagiaan dengan perpisahan. Aku pergi meninggalkannya yang hanya ditemani
deburan ombak dan penyesalan.
Satu minggu telah berlalu. Tak ada kabar satu sama lain. Aku
bahkan tak lagi peduli dengan kejadian satu minggu yang lalu itu. Foto yang
menggantung di dinding kamarku tak memberi efek apapun untukku. Aku serasa
menghilang dari duniaku. Entah, sekarang Aku menetap dimana.
Pagi, tepat satu minggu acara perpisahan sekolah. Pintu
kamarku ada yang mengetuk. Aku masih diam, memperhatikan cover buku kenang –
kenangan sekolah. Ada satu wajah yang menghias disana. Ketukan dipintu tetap
tak ku hiraukan. Samar – samar, suara terdengar.
“ Yuli, Aku ingin bertemu denganmu. Sebentar saja. “ Suara
nan lembut. Aku masih mengenalnya.
Bibirku masih terkunci. Ah, betapa bodohnya Aku, hari itu.
Tak ku hiraukan yang dengan sabar menantiku di depan kamar. Tisca. Sahabatku
sedari kecil yang selalu memberi kabar akurat. Sayangnya, hari itu Aku tak
memperdulikannya. Bahkan Aku bertingkah bodoh, mengabaikannya untuk pertama
kali.
Malam pun menyapa. Formasi bintang diangkasa begitu indah.
Kenangan itu kembali terkuak. Aku mematung. Duduk dengan terus memperhatikan
langit yang terhias indah. Tisca menghampiriku. Ia duduk tepat disamping
kananku. Memelukku erat, menitihkan air mata.
“ Apa yang terjadi? “ Tanyaku, pelan.
Tisca masih terdiam. Air matanya tertahan. Beberapa detik
berlalu begitu saja. Perlahan, Tisca melepaskan pelukannya. Menatapku lamat –
lamat. Menunduk, seakan menahan beban yang teramat berat. Detik ke 59 usai
pertanyaanku ku lontarkan padanya.
“ Semua sudah berakhir. Kenapa semua harus seperti ini?
Kenapa satu minggu ini waktu tiada guna untukmu? Tak adakah hal bermanfaat yang
bisa kau lakukan? Tak adakah upaya dan daya yang mampu menguatkanmu. Dia telah
pergi, Yul. Pergi untuk waktu yang tak bisa ditentukan. “ Ia terisak. Aku penuh
tanda tanya.
“ Apa maksudmu? “ Aku masih datar. Tak mengerti dengan ucapan
Tisca.
“ Yusuf. Dia menantimu 24 jam kali sekian hari. Menantimu
mengubunginya, sebagai bukti kau telah memaafkannya. Aku tahu apa yang terjadi,
Yul. Aku tahu. Yusuf telah bercerita semuanya padaku. 24 jam dalam sehari. Ia
hanya menghabiskan waktunya untuk memikirkanmu. Tadi pagi Aku mencarimu karena
pesannya. Dia ingin bertemu denganmu untuk terakhir kali. “ Tisca menunduk.
Mungkin hatinya perih karena Ia tahu apa yang akan terjadi padaku.
Hening. Hanya terdengar isak tangis Tisca, hembusan angin,
dan hembusan napasku yang pelan. Formasi bintang. Entah mengapa, wajahnya
tersirat disana.
“ Kenapa dia tidak mencariku? “ Mataku memerah.
“ Menemuimu tanpa kehendakmu, sama saja memasukkan diri pada
jurang paling dalam sekalipun. Kau lupa, dia pernah masuk rumah sakit karena
menunggumu di gerbang sekolah hampir 24 jam dengan hujan yang begitu lebat?
Bukankah waktu itu Ia datang untuk meminta maaf padamu? Tapi sayang, dia datang
tanpa kehendakmu. Dia tidak mampu melakukannya lagi. Dia harus mengurusi banyak
hal sebelum kepergiannya. Termasuk memikirkan, bagaimana Ia harus meminta maaf
padamu. “ Penjelasan Tisca terhenti. Air mataku bercucuran. Memoriku kembali
terbuka.
Satu minggu yang lalu. Di acara perpisahan sekolah. Yusuf
menghampiriku. Mengajakku foto berdua. Walaupun sebelumnya, kami sudah foto
berkali – kali. Namun dengan sahabat – sahabat kami, termasuk Tisca. Kala itu,
hatiku bercampur aduk. Senang, karena kami resmi lulus SMA. Semua cita – cita
kami telah menunggu untuk di gapai. Sedih, karena banyak tujuan yang kami
rencanakan. Namun, tak ada satu pun tempat yang sama, yang hendak kami tuju.
“ Kau bahagia, hari ini? “ Ia bertanya, dengan tetap asik
memainkan kamera SLRnya. Memperhatikan beberapa foto kami.
“ Ehm. Aku bahagia, sekaligus sedih. “ Aku masih
memperhatikan wajahnya. Melihat matanya dengan seksama. Bagian tubuhnya yang
sangat Aku suka.
“ Kenapa melihatku seperti itu? “ Ia memotret beberapa sudut.
Aku tak peduli apa yang sedang Ia lakukan.
“ Mungkin, ini hari terakhir Aku bisa melihat matamu, tanpa
penghalang. Mungkin saja, besok Aku hanya bisa melihat dari foto – foto yang
kita ambil hari ini. “ Aku tersenyum. Senang rasanya bisa melihat matanya yang
begitu indah.
Aktivitasnya terhenti. Ia balik menatapku dengan tatapan
matanya nan tajam. Mengahanyutkanku.
“ Bagaimana jika hari ini kita putus? “ Ia begitu serius
mengucapkannya.
“ Putus? Apa kita pernah pacaran. Aku rasa tidak. Kita tidak
akan pernah bisa putus. “ Aku tertawa. Semua hanya ku anggap lelucon.
“ Hari ini, kau bahagia karena kita semua lulus. Namun, hari
ini kau pun sedih karena perpisahan. Dan Aku, justru melengkapi kesedihanmu.
Bukan kebahagiaanmu. “
Aku terdiam. Tak mengerti apapun yang dia katakan barusan.
Aku membuang muka. Masih penuh tanda tanya.
Tisca, Aldo, Ria, Fani, dan Radit, menghampiri kami. Memecah
kebekuan beberapa detik yang lalu. Mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka
pun mengajak melengkapai kebahagiaan dan perpisahan hari ini dengan menikmati
kesejukan pantai. Hal yang sangat Aku suka. Ia pun tahu akan hal itu.
Dan percakapan senja itu, usai. Ketika Aku memutuskan untuk
pergi tanpa alasan. Malam ini, Tisca menceritakan semuanya.
“ Kepergianmu waktu itu memang tak kami sadari. Tapi, kami
tahu apa yang terjadi. Kau tahu? Baru kali pertama, saat senja itu , kami
melihat Yusuf menangis. Iya, Dia benar – benar menangis. Hingga Dia tidak bisa
mengejarmu. “ Tisca mengusap matanya. Menghela napas sejenak. Aku. Terdiam,
menunggu Tisca menjelaskan kembali.
“ Dia tak bisa menentukan pilihannya, Yul. Dia harus pergi.
Dan Dia tidak ingin melukaimu. Yang kami tahu, Dia sangat mencintaimu. “
Air mataku bercucuran. 3 tahun kami bersama. 3 tahun kami
tahu perasaan masing – masing. Tapi semua serasa berakhir duka. Aku
mengabaikannya. Aku terlalu yakin Dia tidak akan pernah meninggalkanku. Aku
menyakitinya, tanpa mampu ku hitung berapa kali Aku melakukannya. Air mataku
kian deras. Lantas, apa yang sekarang bisa Aku lakukan.?
“ Dia tidak berpesan apapun saat itu. Dia hanya menangis di
hadapan kami. Dia tidak bisa memilih. Maafkan Aku Yul. Aku menjaga semua ini,
karena ini pun permintaan Yusuf. Dia tak ingin melukaimu. “ Jeda. Tisca terdiam
beberapa detik, hingga Ia pun melanjutkan ceritanya.
“ Tadi pagi. Secepat kilat Aku mendatangimu. 5 menit setelah
Aku membaca pesan singkat dari Yusuf. Dia ingin bertemu denganmu untuk terakhir
kali. Dia ingin sekali bertemu denganmu, sekedar mengucapkan kata perpisahan.
Tapi, waktu begitu terhimpit. Tak ada jeda sedikitpun dalam 24 jamnya selama
satu minggu ini. Banyak hal yang harus Dia urus. Termasuk merencanakan
pertemuan terakhirnya denganmu. Tapi, kau tahu kan bagaimana orangtua Yusuf?
Mereka sangat disiplin. 10 jam dari 24 jam yang dimiliki oleh Yusuf, Ia gunakan
untuk les Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris. Kau tahu, selama satu minggu. 5
jam yang tersisa, Ia gunakan untuk belajar Ilmu Fisika. Itu pun selama satu
minggu. 5 jam lainnya, Ia gunakan untuk mengikuti berbagai kegiatan untuk
melengkapi persyaratan kuliahnya di Paris. Kamu tahu kan dengan semua rencanaya
itu? dan 4 jam tersisa, Ia gunakan untuk memikirkanmu. Bahkan mungkin dalam
setiap detiknya, Kamu yang ada dalam pikirannya. Bukan lagi tentang Paris. Apa
arti mimpinya Ia gapai, jika cita – cita terbesarnya justru Ia lepaskan. “
Penjelasan Tisca, sungguh menusuk hatiku. Hembusan napas Tisca, terdengar
jelas.
“ Apa yang bisa Aku lakukan? “ Aku terdiam. Pun dengan Tisca.
Hingga detik ke 49.
Tisca mencoba membongkar semua ingatannya. Hingga akhirnya,
puzzle itu Ia temukan.
“ Ia akan mengirimkan email padamu. Setelah Dia sampai di
Paris.”
Mataku tertuju pada Tisca. Aku segera masuk kamar. Mengechek
semua email masuk. Jaringan sepertinya tak bersahabat. 120 detik, masih
tertahan pada sesi login email. Dan, tepat. Email yang paling atas, Yusufyu@gmail.com. Pesan masuk yang langsung ku buka tanpa
berpikir apapun, selain membaca pesan itu.
“ Assalamu’alaikum. Selamat malam, Yuli. Aku
menulis ini, ketika langit Jogja sudah gelap. Berbeda dengan tempatku duduk
saat ini. Belum ada satu pun bintang yang terlihat. Apalagi Jupiter dan Saturnus. Tak mampu ku lihat
dengan mata telanjang. Tak seperti di tempatmu duduk saat ini. Kau hanya perlu
membuka tirai jendela kamarmu, maka Jupiter, Saturnus, bahkan gugusan bintang
lainnya sudah menyapamu dengan anggun.
Yuli, maafkan Aku. Itu kalimat pertama yang
ingin Aku ucapkan padamu. Yuli, Maafkan Aku, aku pergi tanpa ada penjelasan.
Aku tahu ini sangat menyakitkan untukmu. Satu minggu yang lalu, Aku memutuskan
hubungan kita, tanpa penjelasan apapun. Satu minggu yang lalu. Kau pun pergi
tanpa mau menungguku menjelaskan. Yuli, maafkan Aku. Aku tak pernah ada niatan
untuk meninggalkanmu, apalagi melukaimu.
Aku harus pergi Yul. Keputusan yang teramat berat, bagiku. Satu minggu, sebelum
Aku memutuskan semua itu. Aku tak henti meminta petujuk dari – Nya. Aku pun tak
henti menimbang segala keputusan yang membuatku semakin dilema. Yuli, maafkan
Aku. 3 tahun memang bukan waktu yang sebentar. Aku bahkan tak pernah
mengungkapkan perasaanku padamu. Aku pengecut. Datang menyapamu, mempersilahkan
kau memasuki pekarangan hatiku, membiarkanmu tinggal dan menetap, hingga
akhirnya Aku mengusirmu begitu saja. Tanpa penjelasan, tanpa alasan yan jelas.
Yuli, maafkan Aku. Tak ada apapun yang bisa Aku berikan saat ini. Tak ada janji
masa depan yang bisa kau harapkan dariku. Yuli, maafkan Aku. Isi email ini mungkin
sangat mengecewakanmu. Mungkin tak seperti yang kau bayangkan, atau kau
harapkan. Yuli, maafkan Aku. Tapi, kau harus tahu ini sejak awal. Kau harus
melanjutkan hidupmu. Ingat tujuan dan cita – citamu. Raihlah sepertiku saat
ini. Aku telah meraih kursi yang selalu ku incar dari kecil. Paris. Kota ini
yang selalu ada dalam mimpiku. Aku memang berharap, kau menjadi bagian dari
Paris. Namun apa daya, sepertinya Tuhan telah membelokkan skenario yang telah
ku rancang. Aku tak punya energi apapun untuk melawannya. Yuli, maafakn Aku.
Lupakanlah semua tentang kita. Lanjutkan hidupmu. Aku tak memintamu untuk
menungguku. Pun denganku. Aku tak memesan hatimu untukku. Aku tak mau melukaimu
untuk kesekian kali. Yuli, maafkan Aku. Kau tak boleh menungguku. Aku takut kau
akan lebih kecewa dari ini. Biarkanlah Tuhan yang mengatur segalanya. Jadilah
pemain yang baik atas sekenario – Nya. Jangan berharap apapun atas sekenario
yang telah kau rencanakan. Bertahanlah Yul. Kau adalah insan yang luar biasa.
Aku memang selalu mengagumimu. Namun, hari ini mari kita patahkan hati kita.
Percayalah, Tuhan akan menyambung hati kita dengan sempurna, melalui sekenario
yang mampu kita bayangkan. Terima kasih untuk 3 tahunnya. Kau tetaplah sahabat
terbaikku. Yuli, maafkan Aku.
Paris, 24 Mei 2012.
Yusuf “
Aku diam. Tak ada komentar. Bahkan Aku tak membalas email
itu. aku segera memutus koneksi internet di kamarku. Kembali, Aku mematung.
Tisca pun demikian. Ia turut membaca email itu denganku. Beberapa menit telah
berlalu. Tisca memelukku. Malam yang begitu kelabu. Formasi bintang itu,
hilang.
2013
Satu tahun sudah Aku kuliah. Sastra Indonesia. Entah kenapa,
Aku memutuskan untuk mengambil jurusan itu. Bahkan, Aku tak pernah berpikir
untuk menjadi sastrawan. Aku lebih suka menjadi dokter. Satu tahun memang telah
berlalu. Yusuf, tak pernah lagi mengubungiku. Kecuali, ketika kami bercengkrama
di grup sosial media. Aku hanya sesekali melihatnya membalas komentar teman –
teman. Tapi, tidak denganku. Satu tahun belum sebanding dengan tiga tahun yang
telah terlewatkan.
Kami memang kuliah di jurusan yang berbeda. Pun dengan kampus
yang berbeda. Hanya Aku dan Tisca yang memutuskan kuliah di kampus yang sama.
Hanya saja, kami beda jurusan. Tisca mengambil konsentrasi Psikologi. Sesuai
cita – citanya sedari awal. Ya, diantara kami bertujuh, hanya Aku yang tidak
sesuai. Yusuf, dengan Fisikanya. Aldo, dengan teknik sipil, Ria dengan Perawat,
Fani dengan Seni rupa, dan Radit dengan Ilmu Hukum. Semua memang tak menyangka
dengan keputusanku. Jauh sekali. Dokter, yang berbelok menjadi satrawan. Namun,
Yusuf turut berperan disini. Sejak email satu tahun yang lalu, Aku memang lebih
sering murung di kamar. Tanpa tahu apa yang sebenarnya Aku pikirkan. Email itu
membawa hikmah bagiku. Aku pun lebih sering mencurahkan kegundahanku dengan
menulis. Hingga aku memutuskan membuat sebuah blog, dengan username “ Yustory”.
Hampir semua tulisanku memang tentang Yusuf, tentang kesedihanku yang mendalam,
tentang pengharapan yang tak berujung, tentang hati yang patah, tentang cinta
yang salah. 2 bulan mengisi masa liburan, tulisanku telah menjamur. Hingga
akhirnya Aku memutuskan untuk masuk jurusan sastra Indonesia. Tak sia – sia.
Satu tahun terakhir ini, banyak karya yang sudah Aku terbitkan. Royalti yang ku
dapatkan pun ku tabung. Aku juga termasuk mahasiswa berprestasi. Duniaku telah
berubah. Dan Yusuf, Ia tak pernah berubah di hatiku.
2014
2 tahun tak terasa. Aku tak pernah bertemu lagi dengan Yusuf.
Bahkan Aku pun sudah tak mengenal rasaku terhadapnya. Banyak yang datang dan
menghampiriku. Banyak. Hingga Tisca sering mendapat teror untuk membantu mereka
mendekatiku. Tak ada niatan atau entah apa yang Aku rasakan. Mereka ku tepis
satu per satu. Alasanku sederhana. Aku hanya ingin konsentrasi dengan duniaku
kini. Aku tak mau patah untuk kedua kalinya. Patah yang dulu pun belum ku
sambung. Bagaimana aku bisa mematahkannya lebih parah?
Malam betabur bintang. Aku meghabiskan waktuku di kamar.
Menulis. Angin berhembus pelan. Tirai jendelaku begerak perlahan. Kursorku
berkedip. Ku hentikan aktivitasku. Jupiter, Saturnus, dan gugusan bintang.
Mereka tertata rapi di angkasa. Yusuf. Hatiku berucap akan namanya. Pesan di
email, dua tahun lalu kembali mengusik batinku. Apakah Aku boleh merindukannmu?
Aku menghujat dalam hati. Betapa bodohnya Aku. Bukankah Yusuf melarangku
mengingatnya, bahkan sekedar merindukannya. Ya, email itu memang tak pernah ku
balas. Bahkan sejak kejadian dua tahun lalu itu, Aku mulai menghapus emailku.
Aku membuat yang baru. Berharap, tak ada niatan untuk membuka email itu lagi.
formasi bintang diangkasa, menjadi saksi kegundahanku malam ini. Reruntuhan
waktu telah mengubur semua kenangan. Tak ada lagi rindu yang boleh tertuang
dalam hati. Kepada siapa lagi rasa rindu harus mencari yang dirindukan?
Sedangkan waktu tak lagi berpihak padanya. Denting jam tak lagi sekuat degupan
rindu dalam hati. Namun apa daya, ketika rindu adalah lawan yang telah kalah. Tak ada lagi, tak ada lagi rindu
yang tersimpan. Tak ada lagi kenangan.
Tak ada lagi tentangmu.
Dua tahun, nyatanya memang masih kurang untuk melupakan semua
kenangan itu. Yusuf. Entah kenapa, Aku tak mampu menerka semua imajimu, ataupun
imajiku sendiri. Lantas, bagaimana jika waktu tak lagi berpihak? Sedangkan aku
masih ingin disini? Menanti fajar
hingga senja membawamu kembali. Menatap ufuk timur dengan keyakinan dan pengharapan
yang pasti, atau menghujat senja yang tak kunjung membawa berita. Lantas apa yang bisa aku lakukan?
Selain menetap, menanti, dan mengharap dalam ketidakpastian. Ah, ketidakpastian hanyalah perkara
keyakinan. Maka, ketika aku yakin maka itu pasti.
Ketika ketidakyakinan merajai hati, maka ketidakpastianlah yang memenangkan
pertarungan ini. Malam kian larut. Aku belum selesai mengerjakan proyekku.
Yusuf. Ia selalu saja menggangguku. Sama dengan halnya 5 tahun yang lalu.
2015
Entah apa yang terjadi. Tepat 3 tahun email itu
masuk. Aku membuka emailku. yulisant@gmail.com. Email yusufyu@gmail.com berada
paling atas. 3 pesan yang belum terbuka. Awalnya, keraguan merasuk dengan
dalam. Sangat dalam. Namun ku bulatkan tekad. Membuka email itu dengan
ketenangan. 3 email yang sama. Terkirim pada tanggal yang sama. 30 juni. Air
mataku hendak pecah. Email pertama pun ku buka. 30 Juni, 2013.
“
Assalamu’alaikum. Selamat malam, Yuli. Selamat memasuki usia ke 19 tahun. Doaku
hanya satu, semoga Allah senantiasa mengabulkan doamu. Aku minta maaf, tidak
bisa memberikan apapun untukmu. Aku juga minta maaf, ulang tahunmu ke – 18
kemarin tidak sempat Aku ucapkan. Aku tak perlu mengucapkan alasanku bukan?
Semoga kau makin dewasa, makin bahagia, dan makin sukses.
Paris,
30 Juni 2013.
Yusuf.
“
Singkat. Yusuf memang bukan tipe orang yang pandai berkata –
kata. Aku bungkam sesaat. Email kedua pun Aku buka. Pendahuluan yang sama,
ucapan yang sama. Hanya saja, ada beberapa perbedaan.
“ Yuli, apakah tradisi semasa kita SMA masih
berlaku dengan sahabat – sahabat kita? Aku merindukan masa – masa itu. Selamat
menapaki usiamu yang ke – 20 Yul. Semoga Tuhan segera mendekatkanmu dengan
Jodoh. “
Air mataku masih mengalir. Tak ada siapapun di kamar. Tak ada
Tisca yang menemaniku membuka email dari Yusuf, seperti halnya 3 tahun yang
lalu. Jantungku masih berdebar. Hatiku masih perih. Email ketiga, kembali ku
buka. Kali ini dengan intro yang sedikit berbeda.
“ Assalamu’alaikum. Apa kabar Yuli? Ini email
ke – 4 ku setelah kepergianku. Kau masih mengingatku kan? Sahabatmu kala SMA.
Yuli, masih kah kau mencintai senja? Seperti yang selama ini ku ketahui
tentangmu. Kali ini, aku memberikanmu kado special. Foto – foto senja terindah
yang ku nikmati selama tiga tahun di Perancis. Tidak hanya di Paris, tapi di
beberapa kota lainnya yang ada di Perancis. Semua Aku siapkan untuk hari ini.
30 Juni ke – 21 tahun. Yul, tak terasa, Aku telah meninggalkanmu selama tiga
tahun. Sudah tepat tiga tahun kebersamaan kita bukan? Yul, Aku ingin sedikit
bercerita padamu. Walau entah kapan Kamu akan membaca emailku ini. Aku hampir
menyelesaikan pendidikanku di Paris. Itu artinya, Aku akan segera pulang ke
Indonesia. Memang, impianku untuk pergi ke luar angkasa belum tercapai. Aku
bahkan belum mampu menginjakkan kaki di planet Saturnus ataupun Jupiter. Tapi,
kamu tahu? Ada yang lebih indah buatku saat ini. Menapaki belahan bumi yang
lain. Indonesia. Aku ingin segera pulang. Aku merindukan segalanya. Termasuk,
kamu. Maafkan Aku yang lancang, Yul. Aku memang tak pernah tahu bagaimana
kabarmu. Aku tak tahu, apakah kau sekarang sudah menjadi dokter atau bahkan
menjadi istri dari seorang dokter. Yang Aku tahu, Aku memikirkanmu detik ini, dan mungkin detik
– detik berikutnya. Aku memang tak memintamu menungguku. Karena Aku lebih
menginginkan menunggu indahnya kehendak Tuhan. Maafkan atas ceritaku ini.
Semoga kau makin baik Yul.
Paris, 30 Juni 2015.
Yusuf “
Pudar. Pandanganku tak lagi pada layar laptop 14” itu. mataku
banjir oleh air mata. Isak tangsiku kian tak terbendung. Sepahit ini kah?
Mengapa Yusuf begitu tega padaku? Pertanyaan yang pernah ku sampaikan padanya.
Hingga hari pun tak memberi jawaban padaku.
Mataku masih perih, menatap layar monior. Hpku berdering.
Tepat pukul 06.00 WIB. Aku meraih HP yang tergeletak di meja samping tempat
tidurku.
Private number. Aku mengangkatnya. Mengucap salam, dan suara
di ujung telfon itu, jelas sekali.
“ Bolehkah Aku menjadi Jupiter yang mengucapkan selamat pagi
untukmu? “
Aku segera beranjak. Hanya satu orang yang tahu dengan kode
rahasia itu. aku lelah menebak. Aku segera keluar kamar. Melihat segala
kemungkinan yang terjadi. 22 September 2015. Wajah ramah, mata sayu, kulit
putih, badan yang sedikit berisi itu, nyata adanya. Aku seperti bermimpi. Namun
Aku tak ingin bangun. Aku ingin tetap seperti ini. Langkahnya perlahan,
berjalan dengan tenang padaku.
“ Kamu tidak sedang bermimpi, Yul. “ Ia terseyum dengan
khasnya padaku.
Aku masih diam. Mendengarkan hembusan napasnya yang sangat
Aku rindukan. Oh Tuhan, jangan bangunkan Aku terlebih dahulu. Tak banyak yang
kami lakukan. Ia baru sampai di Indonesia. Hanya 10 menit Ia menemuiku. Ia
harus segera pulang ke rumahnya. Keluarganya sudah menanti. Aku melepaskannya.
Dan aku seperti bangun dari mipiku. Yusuf. Dia nyata adanya.
Angin berhembus pelan, menyejukkan. Malam itu semua terasa
indah. Menenangkan. Aku membuka pembicaraan. Memecah keheningan sesaat.
"Bagaimana jika Aku pergi?" Aktivitasnya terhenti. Menatapku
lamat - lamat. Tersenyum. Senyuman yang begitu menentramkan.
"Aku tak kan mencegahmu. Aku laksana pintu sebuah rumah.
Jika penghuninya tak lagi berkenan didalam rumah, tak apa. Ia hanya butuh
kesejukan, atau sekedar hiburan supaya tak bosan didalam rumah. Akulah pintu
itu. Kapanpun kamu mau membukanya, buka saja. Aku tak kan menahanmu. Tak
akan." Aku diam. Mematung, seperti
disihir kata- katanya. Lantas Aku bertanya kembali.
"Kau tak takut Aku pergi? Bagaimana jika
Aku tak kan pernah kembali?"
Senyumnya, tatapanya, menghilangkan segala keraguan dalam benakku.
Senyumnya, tatapanya, menghilangkan segala keraguan dalam benakku.
"Aku adalah rumahmu. Sejauh apapun kau pergi,
kau pasti akan kembali. Selama apapun kau pergi, kau akan merindukan rumahmu.
Senyaman apapun tempat barumu, rumahmu senantiasa menyimpan cerita yang
membuatmu lebih nyaman. Apakah kau akan tetap pergi? " Kaca itu hendak pecah. Tak mampu membendung air mata yang
telah tertahan.
"Lantas bagaimana jika Aku harus pergi
untuk selamanya?"
Suaraku hilang, bersamaan hembusan angin yang tengah menghampiri.
Suaraku hilang, bersamaan hembusan angin yang tengah menghampiri.
"Aku akan tetap bertahan hidup untukmu.
Mendoakanmu akan menjadi rutinitasku, mengenangmu akan menjadi rentetan
ceritaku, memikirkanmu akan menjadi penghias setiap detik waktuku, mencintaimu
akan menjadi penyejuk jiwaku. Apa yang masih kau takutkan?" Aku terisak.
Lantas setega itu kah Aku harus pergi meninggalkannya?
3 tahun kepergiannya, 3 tahun pula Aku tahu
sebuah kenyataan pahit. Aku mengidap sebuah penyakit. Usiaku tak terbatas, tak
ada yang tahu. Aku memberinya sebuah kabar duka usai perpisahan kami nan panjang.
Yusuf. Ia masih tak percaya dengan semua penjelasanku. Sama halnya ketika Aku
bercerita tentang kuliahku. Aku bukan dokter, dan mungkin tak kan menjadi
bagian dari kehidupan dokter. Aku lebih memilih menjadi bagian hidup dari
seorang fisikawan.
2016
Ada serangkaian kata yang masih terkunci dengan kokoh. Menata
dengan pelan, dalam kotak penyimpanan. Terkadang,
hanya ku tengok. Sesekali, hanya melihat tanpa hendak menyapa. Tak ada daya
untuk meraih kunci. Biarkan Ia
tersimpan rapi, aman, dan penuh kedamaian. Ya, damai. Karena disanalah tempatnya harus menetap. Jika
kelak Ia mengalun lembut, hingga tiada kau sadari, maka anggaplah Ia telah
menemukan kuncinya. Bukan perkara mudah, memang.
Bersembunyi dalam kebersamaan. Diam dalam candaan. Tak mengerti arah dalam
perjalanan. Ah, biarkan rangkaian kata yang telah tersimpan rapi itu
tetap tersimpan hingga kini.
Tak perlu resah, atau takut dengan segala
kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tak ada jaminan akan kepastian.
Tengadahkanlah tangan dengan anggun. Dan biarkan, rangkaian katamu dan kataku
menemukan kita.
30 juni 2016, usai gelar S1 telah ku raih,
Yusuf membuktikan janjinya. Ia mendatangiku beserta keluarga besarnya. Kami
resmi menikah, 1 minggu sebelum bulan puasa. Aku memang belum sembuh dari
penyakitku. Tapi Yusuf selalu meyakinkanku, jodoh tak selalu berhubungan dnegan
kematian. Hingga detik ini, fisikawan muda itu masih setia menemaniku. Ia
memang tak memintaku menunggu, tapi Tuhan membuatku menunggu. Demikian inilah
sekenario yang begitu indah, yang pernah Yusuf ceritakan padaku. Tak ada yang
lebih indah dari skenario Tuhan. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi.
Tapi, selama hidup dan matiku bergantung pada Tuhan, Aku percaya sekenarionya
akan selalu indah. Yusuf. Aku belajar banyak hal darinya. Termasuk alasannya
melepaskanku. Karena ternyata, Ia sangat mencintaiku. Ia tak ingin membuatku
terluka di dunia dan akhirat. Adakah yang lebih romantis dari percakapan seorang insan yang
mencinta dan menyampaikan pengharapannya terhadapmu melalui Sang Maha romantis?
Boleh jadi apa yang dia sampaikan memang tak kau
tahu. Namun Sang Maha romantis menyampaikannya dengan cara yang lebih romantis. Tanpa
kau tahu, sedemikianlah itu pengharapannya. Dan hari ini, Tuhan menyampaikan
pesannya dengan amat romantis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar